728x90 AdSpace

  • Latest News

    Selasa, 22 Februari 2011

    Politik Apharteid di Afrika Selatan 1948-1977


    A.  Perkembangan Politik Apartheid di Afrika Selatan
    Nelson Mandela

    Apartheid memiliki pengertian “kebijakan diskriminasi rasial yang menganggap ras etnik sendiri lebih unggul dari ras bangsa lain.”[1] Diskriminasi rasial yang dimaksud adalah diskriminasi yang diterapkan oleh orang-orang kulit putih di Afrika Selatan terhadap orang-orang kulit hitam di negeri tersebut. Aplikasi politik Apartheid ini dimulai sejak tahun 1948 ketika Partai Nasional (Parati orang kulit putih) pimpinan Daniel Francois Malan memenangkan pemilihan umum dengan program politik Apartheid. Sebagai pembenaran atas politik Apartheid, Partai Nasional menysusun sebuah teori yang pada intinya sebagai berikut “…setiap ras mempunyai panggilan tertentu dan harus memberikan sumbangan budaya kepada dunia, dan oleh sebab itu ras-ras harus dipisah satu sama lain, agar dapat hidup dan berkembang sesuai dengan kepribadian dan kebudayaannya masing-masing…”.[2]
    Pada prakteknya kontak antar ras yang dapat membahayakan kemurnian budaya ras dibatasi oleh ras kulit putih. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi suatu ikatan bersama antar ras yang tertindas untuk melawan ras kulit putih. Berdasarkan teori di atas, rakyat Afrika Selatan dipecah menjadi empat yaitu kulit putih, kulit hitam, campuran dan Asia. Setiap kelompok ini harus tinggal secara terpisah di Afrika Selatan sebagai negaranya agar dapat hidup dan berkembang secara tersendiri.

    Wujud dari politik Apartheid ini secara tidak langsung nampak pada penguasaan wilayah negara oleh ras kulit putih. Penduduk kulit hitam sebagai penduduk mayoritas hanya mendapatkan 13 % wilayah negara yang tidak memiliki kekayaan alam maupun industri. Sementara untuk minoritas kulit putih menguasai 87,1 % wilayah negara, termasuk semua kota besar, pusat indiustri, tambang, pelabuhan dan tanah pertanian yang paling baik.[3] Hal ini mengambarkan bahwa dominasi ras kulit putih di Afrika Selatan sangat kuat.
    Pada masa pemerintahan Partai Nasional politik Apartheid semakin digalakkan dengan tujuan untuk semakin memperkuat kedudukan orang-orang kulit putih di Afrika Selatan. Adapun langkah yang ditempuh mencakup bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
    1.      Politik
    Langkah yang ditempuh yaitu dengan memperkuat kedudukannya dalam parlemen dan memperluas kekuasaannya di luar parlemen dengan semakin meningkatkan kekuasaan negara. Wujud konkrit dari langkah tersebut antaralain adalah sebagai berikut :
    a)      Hak-hak politik golongan kulit hitam, campuran dan Asia yang sudah terbatas, semakin dikurangi dan lambat laun dihapus.
    b)      Pada tahun 1951 dikeluarkan Bantu Authorities Act, yang menghapus Dewan Perwakilan Rakyat Pribumi. Sebagai gantinya ditetapkan pembentukan pemerintahan suku, regional dan teritorial di negeri-negeri Bantu, fungsi-fungsi administratif, eksekutif, dan kehakimannya.
    c)      Pada tahun 1950 dikeluarkan Supression of Communism Act, yang melarang berbagai organisasi politik yang dikuasai kulit putih tetapi didukung kulit hitam atau memperjuangkan pembentukan suatu masyarakat non rasial atau pemerintahan mayoritas. Sebagai dampaknya secara berturut-turut dilarang Partai Komunis (1950), Kongres Demokrasi (1962) dan organisasi-organisasi politik kulit hitam. Di samping itu pada tahun 1960 Kongres Nasional Afrika (ANC) dan Kongres Pan Afrika (PAC) dilarang dan sejumlah anggotanya, terutama pemimpinnya dipenjarakan. Dengan demikian kekuasaan politik dimonopoli oleh orang kulit putih. Sementara aspirasi golongan lain disalurkan melalui struktur kekuasaan di wilayahnya masing-masing yang tidak membahayakan kedudukan istimewa kulit putih.
    2.      Sosial
    Dijalankan dengan melakukan segregasi rasial disegala bidang kehidupan. Dalam bidang sosial ini terapkan segregasi di tempat-tempat umum, kereta api, bis dan alat-alat angkutan lain. Segregasi juga dilakukan dalam perkumpulan-perkumpulan sosial, kebudayaan, dan keagamaan.
    Segregasi dalam bidang sosial ini semakin tegas dengan dikeluarkannya Group Areas Act, yang menetapkan area bagi golongan masing-masing. Sebagai dampaknya banyak orang kulit hitam sejauh itu tinggal di daerah kulit putih harus menjual tanah miliknya dan pindah ke area yang ditunjuk bagi mereka. Selanjutnya ditetapkan bahwa orang kulit hitam tidak boleh tinggal di daerah perkotaan lebih dari 72 jam tanpa izin dari Native Labour Officer. Disamping itu juga dikeluarkan Imortality Amendement Act dan Prohibition of Mixed Marige, yang mencegah terjadinya perkawinan campur antara orang kulit putih dan non kulit putih.[4]
    3.      Ekonomi
    Dalam bidang ekonomi dijalankan dengan mengeluarkan Native Labour Settlement of Disputes Act pada tahun 1953. Undang-undang ini menetapkan bahwa Native Labour Officer sebagai penguasa tertinggi dalam penyelesaian konflik industri yang melibatkan tenaga kerja kulit hitam dan melarang pemogokan kulit hitam. Di samping itu juga dikeluarkan Native Building Workers Act tahun 1951 dan Industrial Conciliation Act tahun 1956, yang menetapkan reservasi pekerjaan ahli bagi orang kulit putih.
    4.      Budaya
    Dalam bidang budaya dilakukan segregasi dalam pendidikan dengan dikeluarkannya Bantu Education Act tahun 1953, yang mengakhiri pendidikan bersama dan menempatkan pendidikan rakyat kulit hitam di bawah kekuasaan Pemerintah Afrika Selatan, serta menjaga jangan sampai orang kulit hitam menerima pendidikan untuk kedudukan-kedudukan yang tidak diperuntukan bagi mereka. Segregasi juga dilakukan dalam pendidika tinggi bagi orang kulit hitan dengan dikeluarkannya Separate University Act pada tahun1959.
    Adanya segregasi dalam segala bidang yang dilakukan oleh orang kulit putih terhadap orang kulit hitam, lambat laun memunculkan protes dari golongan-golongan rasial lainnya dalam hal ini adalah ras kulit hitam. Mereka menolak dan menentang dengan tegas politik Apartheid. Orang kulit hitam melihat politik Apartheid sebagai siasat minoritas kulit putih untuk mempertahankan supremasi dan kedudukan istimewanya dan sebagai diskriminasi rasial yang tidak adil.[5]
    Di samping menentang politik Apartheid mereka juga menuntut hak politik dan bagian kekayaan Afrika Selatan. Perjuangan mereka mendapatkan dukungan dan bantuan dari negara-negara Afrika, yang mengutuk dengan keras apartheid. Mereka dengan berbagai cara berusaha menekan rezim kulit putih Afrika Selatan agar menghapusnya dan menghormati hak-hak golongan rasial kulit hitam khususnya.
    Berkaitan dengan hal di atas, pemerintah Afrika Selatan mendapatkan terus tekanan-tekanan dari dalam maupun dari dunia luar. Dalam menghadapi tekanan tersebut pemerintah Afrika Selatan mulai menonjolkan segi positif dari politik apartheid. Hal ini dilakukan dengan mengeluarkan Bantu Self Government Act, yang isinya memberikan perwakilan terbatas dalam parlemen kepada rakyat kulit hitam dan menetapkan pembagian rakyat kulit hitam dalam delapan satuan nasional yang akan dikembangkan menuju otonomi dan kemerdekaan. Setelah dikeluarkannya peraturan tersebut, kemudian dibentuk suatu kementrian untuk pembangunan, pendidikan Bantu, dan komisaris jendral sebagai wakil pemerintah Afrika Selatan dan membantu penguasa Bantu dalam pembangunan. Pada tahun 1871 dikeluarakan Bantu Home Land Constitutions Act yang berisi bahwa pemerintah Afrika Selatan diberi kuasa untuk memberikan otonomi kepada negeri teritorial mereka di mana setiap negeri diperbolehkan mempunyai bendera dan lagu kebangsaan sendiri tetapi dilarang mempunyai tentara dan mengadakan hubungan dengan negara lain, mendirikan pabrik senjata atau bahan peledak, membuat undang-undang yang mengatur pengangkutan, pos, telekomunikasi, keuangan dan imigrasi.

    B.  Usaha Rakyat Afrika Selatan Dalam Melawan Politik Apartheid
    Rakyat kulit hitam diAfrika Selatan menolak kulit putih bahwa secara kodrati orang kulit putih memiliki keunggulan dan hak untuk memimpin. Penolakan ini antara lain ditandai dengan keluar dari gereja-gereja yang dikuasai oleh orang kulit putih. Dalam upaya menentang politik apartheid orang kulit hitam yang mendapatkan pendidikan Barat mulai mengambil langkah dengan membentuk gerakan-gerakan politik. Gerakan-gerakan politik ini tidak hanya didirikan oleh orang kulit hitam melainkan juga oleh orang kulit berwarna. Adapun organisasi-organisasi yang didirikan antara lain yaitu :
    1.      Cape Native Voters Associations (1880-an)
    2.      African Peoples Organization (APO) 1902 (didirikan oleh orang kulit berwarna)
    3.      African national Congress (ANC) 1912
    4.      Pan African Congress (PAC) 1958, organisasi ini merupakan pecahan dari ANC
    Salah satu organisasi yang menonjol adalah ANC, dengan salah satu tokohnya adalah Nelson Mandela. Sebagai organisasi politik pada awalnya ANC terbatas pada usaha agar golongan elit Afrika diterima secara sosial dan politik dalam masyarakat yang dikuasai oleh kulit putih. Dalam perjaungannya ANC menempuh jalan konstitusional, akan tetapi setahun kemudian mereka mengubah perjaungan mereka ketika dikeluarkan National Land Act, yang antara lain melarang orang kulit hitam membeli tanah atau hidup di wilayah kulit putih sebagai penyewa atau pengarap dengan bagi hasil. Pada tahun 1919-1920 ANC melancarakankampaye untuk menentang peraturan-peraturan yang mewajibkan rakyat kulit hitam membawa pas, yang bukan hanya merupakan tanda kenal dan izin tinggal tetapi juga merupaka alat untuk menguasai migras penduduk kulit hitam. “Bagi orang kulit hitam, pas jalan ini adalah tanda perbudakan terhadap mereka. Hanya orang kulit hitamlah yang harus memiliki pas jalan seperti ini, dan hanya mereka pula yang ditangkap jika tidak dapat menunjukkannya pada saat pemeriksaan”.[6]
    Semakin meningkatnya diskriminasi terhadap rakayat kulit hitam, diiringi dengan semakin meningkatnya oposisi nasionalisme Afrika. Berkaitan dengan hal tersebut ANC memperluas keanggotaannya dan berkembang menjadi suatu organisasi massa. Pada tahun 1940-an membentuk suatu sayap muda yang lebih radikal. Pada tahun 1952 orang kulit hitam, berwarna dan India serta sejumlah orang kulit putih melakukan suatu perlawanan secara pasif. Pada tahun 1955 organisasi-organisasi yang menentang apartheid seperti ANC, SAIC, Coluored Peoples Political Organization dan White Congress of Democractas mengadakan pertemuan di Kliptown dekan dengan Johnannsesburg, dengan tujuan menyusun Freedom Charter, yang menggariskan dasar-dasar bgi Afrika Selatan yang demokratis dan non rasial.
    Pada tahun 1958 ANC pecah sebagai akibat adanya perbedaan dalam tubuh ANC, di mana sebagaian anggota menghendaki kerjasama dengan ras lain dalam menentang apartheid namun sebagian lain menentang kerjasama dengan ras lain. Pecahan dari ANC adalah Pan African Congress (PAC). Organisasi ini dipimpin oleh Robert Sobukwe. Bagi PAC bekerja sama dengan kelompok rasial lain hanya kan meperlemah perjaungan mereka, akan tetapi garis besar perjaungannya tidak banyak berbeda dengan ANC.
    Tindakan PAC dalam menentang politik apartheid juga diperlihatkan denagn melancarkan kampanye anti pas pada tahun1960. Kampanye dan segala bentuk upaya menentang apartheid ini ditanggapi dengan kekerasan oleh pihak pemerintah Afrika Selatan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya kejadian pembantaian di Sharperville dan diperparah dengan adanya larangan terhadap organisasi-organisasi kulit hitam. Hal ini menyadarkan rakyat kulit hitam bahwa sasaran perjuangan mereka tidak dapat dicapai secara damai, tetapi hanya dapat dicapai melalui jalur kekerasan. Berkaitan dengan hal tersebut pada tahun 1961 dan 1962 mereka mendirikan dua organisasi rahasia yaitu Umkhonto wi Sizwe dan Poso, guna memeperoleh perubahan politik lewat suatu sabotase terhadap kaum kulit putih. Dengan adanya perubahan gerakan politik damai kekerasan, telah berdampak pada semakin meningkatnya tindakan kekerasan yang dilancarkan terhadap orang kulit putih. Pada tahun 1972 muncul suatu gerakan diantara mahasisiwa kulit hitam, berwarna dan India, yang dilancarakan oleh organisasi mahasiswa Afrika Selatan (SASO). Mereka melancarkan betrokan berdarah dengan aparat keamanan.
    Aksi kekerasan dari para mahasiswa ini secara tidak langsung turut membangkitkan keberanian para pemimpin Bantustan untuk mengajukan tuntutan-tuntutan kepada pemerintah Afrika Selatan. Di bawah pimpinan Chief Buthelzi dan Kwazulu mereka mencari dukunga ke luar negeri, mereka tidak hanya menuntut wilayah yang lebih luas dan memeprcepat proses menuju kemerdekaan, namun juga menuntut penghapusan diskriminasi sosial dan ekonomi. Tekanan-tekanan ini semakinmeningkat dengan adanya tuntutan   Bantustan untuk membentuk pemerintahan federasi, namun hal tesebut di tolak oleh PM Vorster. Namun demikian tekanan dan perlawanan justru semakin terus meningkat. Kemedekaan dari politk apartheid ini baru didapatkan oleh penduduk pribumi Afrika Selatan pada tahun 1994.

    C.  Penyelesaian Masalah Politik Apartheid
    Masalah rasial (politik Apartehid) di Afrika Selatan diatasi dengan mengadakan perjanjian dan perundingan antara Inggris dan Afrika. Dalam peneyelesaian masalah tersebut dibantu oleh pihak Amerika Serikat. Sikap Amerika Serikat dalam masalah ini lebih cenderung memihak Afrika, hal ini dimaksudkan untuk menunjang kepentingan-kepentingannya seperti menghentikan pengaruh barat di Afrika, agar kepercayaan negara-negara Afrika terhadap Amerika dapat dipulihkan.
    Permasalahan rasialisme ini diselesaikan dengan menerapkan Majority Rule (Pemerintahan bersama). Dalam pemerintahan bersama ini hak-hak kaum myoritas dan minoritas dilindungi, karena semua manusia memiliki hak dasar yang sama. Di samping itu dalam pemerintahan ini juga dilakukan perubahan politik secara damai dan mengakhiri politik apartheid. Sebelum terbentuknya Majority Rule, dibentuk suatu pemerintahan sementara. Dalam pemerintahan sementara ini dibentuk suatu dewan negara yang separuh anggotanya adalah kulit hitam dan putih di bawah pimpinan kulit putih yang tidak memiliki hak istimewa. Dewan negara ini berfungsi untuk menyusun undang-undang, mengadakan pengawasan, dan mengawasi proses perancangan konstitusi pemerintahan.
    Penyelesaian masalah rasialisme ini juga diupayakan melalui suatu konfrensi-konfrensi yang diadakan di Jenwa pada tangga 28 Oktober 1976. Konfrensi ini dikenal dengan konfresni perdamaian Rhodesia. Usaha perdamaian Rhodheisa ini mengalami beberpa hambatan yaitu :
    1.    Terdapat perbedaan antara pihak-pihak yang berkepentingan, walaupun telah ada kesepakatan tentang Majority Rule
    2.    Terdapat perbedaan pendapat dikalangan kaum nasionalis Zimbawe
    3.    Tidak ada kepastian bahwa para gerilyawan akan tunduk kepada pimpinan yang ikut dalam konfresni perdamaian di Jenewa dan menghentikan perang gerilya setelah tercapai suatu persetujuan dengan kulit putih dan kulit hitam.


    [1] B.N. Marbun, Kamus Politik, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2005, hlm. 33.
    Kebijakan rasial ini secara resmi diterapkan di Republik Afrika Selatan melalui undang-undang diskriminasi yang dirancang untuk mempertahankan pengendalian negara oleh kelompok minoritas kulit putih. Penduduk Afrika Selatan terdiri dari 70 % penduduk Afrika kulit hitam, 20 % orang Eropa, dan 10 % penduduk campuran. Secara resmi kebijakan apartheid ini telah diakhiri pada tahun 1994.
    [2] Kirdi Dipoyudo, op.cit, hlm. 74.
    [3] Pada tahun 1974 Orang kulit hitam berjumalah 71 % dari seluruh penduduk Afrika Selatan, sedangkan orang kulit putih berjumalah 16,7 %
    [4] Darsiti Soeratman, Sejarah Afrika Zaman Imperialisme Modern Jilis II, Yogyakarta, UGM, 1974, hlm. 179.
    [5] Kirdi Dipoyudo, op.cit, hlm. 77.
    [6] Benjamin Pogroun, Nelson Madela, Jakarta, Gramedia, 1993, hlm. 57.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    1 komentar :

    Item Reviewed: Politik Apharteid di Afrika Selatan 1948-1977 Rating: 5 Reviewed By: Yulius Dwi Cahyono, M.Pd.
    Yulius DC. Diberdayakan oleh Blogger.
    Scroll to Top