Jumat, 26 Februari 2016

Imlek dan Politik Identitas Gus Dur

Oleh : Yulius Dwi Cahyono, M.Pd.
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah 
Universitas Sanata Dharma 
Yogyakarta

Dimuat di Wcana Harian Bernas 06/02/2016


      

      Tinggal beberapa hari lagi masyarkat Tionghoa akan merayakan “Tahun Baru Imlek” 2567 Tahun Monyet Api (08/02/2016). Beragam persiapan telah dilakukan mulai dari membuat Kue Keranjang, Mempersiapkan pernak pernik Imlek, Mencuci Patung Dewa dan tak kalah menariknya media sosial pun ikut mempersiapkan kemeriahan perayaan Tahun Baru Imlek. Seperti halnya yang dilakukan media sosial Twitter dengan membuat emoticon bernuansa Imlek, caranya mudah hanya dengan cara mengetik #imlek, maka emoticon tersebut akan keluar. Silahkan dicoba.
      Kemerdekaan dalam merayakan “Tahun Baru Imlek” 2567 sebagai wujud dari ekspresi kultural dan religius masyarakat Tionghoa, tidak dapat dipisahkan dari peranan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang mendobrak tirai besi pengekang eksistensi budaya Tionghoa di Indonesia.Dalam perjalanan sejarahnya kita ketahui bahwa pada masa Presiden Suharto (Orde Baru), segala hal yang berbau budaya dan ritus keagamaan masyarakat Tionghoa dilarang dirayakan di ruang publik. Pembatasan ini dilegalkan pada tahun 1967 melalui Inpres No.14/1967. Inti isinya diberlakukan pembatasan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Artinya segala bentuk perayaan tradisi dan keagamaan masyarakat Tionghoa: Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun, tarian Barongsai dan Liong dilarang dirayakan/dipertunjukkan secara terbuka.
      Siapa pengagasnya ? Idenya muncul dari seorang Tionghoa bernama Kristoforus Sindhunata alias Ong Tjong Hay. Ia yang mengusulkan kepada Suharto pelarangan total perayaan Imlek, adat-istiadat dan budaya Tionghoa. Suhartopun memanfaatkan ide tersebut tetapi bukan dalam bentuk pelarangan total melainkan pelarangan untuk perayaan di ruang publik. Imlek hanya boleh dirayakan di rumah dan di tempat yang tertutup. Sebuah upaya sistematis untuk meredupkan identitas diri masyarkat Tionghoa. Penekanan terhadap masyarakat Tionghoa ini juga tidak lepas dari ketakutan Suharto terkait kebenaran Peristiwa 1965.
      Pada masa pemerintahan Gus Dur aktualisasi dari semangat “Kebhinekaan Tunggal Ika” atas pengakuan budaya Tionghoa dilakukan dengan menerbitkan Keppres No. 6/2000 tentang pencabutan Inpres No.14/196. Pada tahun 2001 disusul dengan Keputusan Menteri Agama No.13/2001, Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional fakultatif. Dalam semangat menjunjung tinggi penerimaan akan keberagaman budaya, pada masa Presiden Megawati diterbitkan Keppres No.19 tahun 2002 yang memutuskan bahwa Imlek menjadi hari libur nasional mulai 2003. Politik Identitas Gus Dur dalam mendukung eksistensi masyarakat Tionghoa ini mendapatkan apresiasi dari masyarakat Tionghoa dengan menjadikan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa pada 10 Maret 2004.


Dasar pemikiran Gus Dur      Terkait dengan pluralitas masyarkat di negeri ini baik agama, budaya dan etnik, Gus Dur menyampaikan bahwa sikap yang paling tepat dalam menghadapi pluralitas adalah menempatakan setiap kelompok masyarakat setara dengan kelompok lain dalam hal apapun tanpa ada diskriminasi dan ketidakadilan. Menurut Gus Dur pluralisme ada dua yaitu pluralisme teologis dan sosial. Plularisme teologis, meyakini bahwa semua agama secara teologis sama. Ada satu Tuhan yang diyakini semua penganut agama. Hakikatnya Tuhan itu satu, penyebutannya saja yang berbeda semisal Allah menurut Islam dan Sang Hyang Widhi menurut Hindu. Pluralisme sosial menurut Gus Dur di dalamnya terdapat pesan agama yang pada dasarnya sama, yaitu pesan “kemanusiaan”. Semua agama mengajarkan tentang kemanusiaan: cinta kasih, persaudaraan, tolong menolong dsb. Konsep menjunjung tinggi kemanusiaan ini yang menjadi intinya.      Dalam kepribadiannya, Gus Dur adalah seorang Muslim yang mengutamakan nilai-nilai Universal Islam dibandingkan dengan formalisasi Islam yang bersifat legalitas-simbolis. Subtansi Islam diutamakan dengan pertimbangan nilai-nilai universal Islam tidak hanya milik orang Islam tetapi juga milik non muslim. Nilai-nilai itu seperti: Keadilan, Persamaan dan Demokrasi. Selain itu bagi Gus Dur sikap kritis menjadi sebuah keharusan untuk memberikan masukan bagi perbaikan kehidupan. Gus Dur tidak hanya berpedoman pada pemikiran Islam tradisional, tapi keilmuan Barat juga menjadi rujukan. Ia memandang bahwa keduanya saling melengkapi dalam memecahkan masalah umat, hukum Islampun akan menjadi selalu dinamis dan tetap relevan.
       Pemikiran-pemikiran inilah yang mendasari Gus Dur melakukan Politik Identitas Keharmonisan berbangsa dan bernegara. Prof. Dr. Syafii Maarif pernah mengatakan bahwa politik identitas bukan ancaman berarti ketika kita benar-benar menghayati dan mengamalkan visi dan misi para pendiri bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Presiden Sukarno pernah mengatakan Indonesia membutuhkan suksessor yang dewasa untuk menjadikan Indonesia tumbuh menjadi negara yang kuat. Menurut penulis Gus Dur pantas dikatakan sebagai “suksesor” dalam pemikiran dan tindakan. Bagaimana dengan generasi muda kita mampukah menjadi suksesor-sukesor baru ditengah maraknya isu Intoleransi? Gong Xi Fa Cai 2567.

Opini Bernas Oleh Yulius Dwi Cahyono, M.Pd.



Berdamai dengan Kebenaran dibalik Peristiwa G30S Tahun 1965

Oleh : Yulius Dwi Cahyono, M.Pd.
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah
Universitas Sanata Dharma 
Yogyakarta

Dimuat di Opini Tribun Jogja 30/09/2015

KEBOHONGAN, meskipun lari secepat kilat pada akhirnya akan ketahuan juga.
Istilah ini kiranya turut memberi warna dalam Tragedi Kemanusiaan tahun 1965 yang dikenal dengan istilah G30S, yang kita peringati pada hari ini Rabu (30/9/2015).
Tidak henti-hentinya kontroversi dalam Peristiwa 1965 terus diperbincangkan dan didiskusikan dalam berbagai seminar, sebagai penanda bahwa kebenaran tidak akan pernah berhenti untuk diperjuangkan.
Pertanyaannya apakah kita berani membuka hati untuk menerima kebenaran di balik peristiwa G30S ?
Lima puluh tahun yang lalu, tepatnya pada pagi buta tanggal 1 Oktober 1965, enam Perwira Tinggi Angkatan Darat, salah satunya adalah Ahmad Yani, menjadi korban dalam suatu percobaan kudeta.
Menurut versi Orde Baru, Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah pihak yang paling bertangung jawab atas penculikan dan pembunuhan tersebut.
Peristiwa ini bermula dari munculnya isu adanya sekelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta untuk menjatuhkan Presiden Sukarno.
PKI dan pasukannya dituduh menggerakan militer untuk malakukan penculikan terhadap para perwira tersebut.
Di dalam ingatan kolektif masyarakat hingga kini masih tertanam begitu kuat bahwa dalam peristiwa 1965, PKI melakukan tindakan sadis dengan menculik, menyiksa dan membunuh para Jenderal.
Ingatan kolektif ini terpatri kuat dalam ingatan melalui film dokumenter karya Arifin C Noer tahun 1984 dengan Judul “Pengkhianatan G30S/PKI”.
Film ini selalu diputar pada masa Orde Baru setiap tanggal 30 September malam hari dan diwajibkan untuk ditonton, bahkan oleh siswa mulai dari tingkat SD.
Tidak dapat dipungkiri bahwa melalui film ini muncul agitasi kebencian kepada segelintir pihak yang diberi label antagonis (PKI dan Orang atau Kelompok yang dituduh sebagai simpatisan atau anggota PKI).
Pada masa pemerintahan Habibie kewajiban tayang film tersebut dihentikan pada september 1998.
Kejangalan-kejanggalan dan kekritisan sejarawan kemudain bermunculan setelah Orde Baru tumbang. Situasi ini memutar balikkan 360 derajat sejarah G30S versi Orde Baru.
Film baru karya Jhosua Openheimer dengan Judul The Act of Killing dan The Look of Silence, turut menjadi anti tesis dari sejarah G30S versi Orde Baru.
Beredar dan diputarnya film ini sempat memicu aksi kekerasan dari sekelompok masa antara lain di UIN Sunan Kalijaga pada 11 Maret 2015 dan USD pada 25 Februari 2015.
Hal ini menandakan bahwa sebagian besar dari kita masih belum memahami sejarah dan belum mampu berdamai dengan kebenaran sejarah.
Dalam penulisan sejarah baru peristiwa ini dimaknai penggulingan Presiden Sukarno dengan jalan menyingkirkan kelompok atau orang yang loyal kepada Sukarno.
Kedua film tersebut semakin membuka tabir gelap siapa sebenarnya dalang di balik peristiwa ini, namun demikian bukan hal inilah yang paling utama, terdapat hal lain yang jauh lebih besar yaitu sebuah peristiwa genosida yang di luar batas perikemanusiaan melanda anak-anak bangsa pasca 1965.
Genosida terhadap jutaan nyawa anak bangsa ini jauh lebih sadis dari kejahatan PKI yang digambarkan dalam film “Pengkhianatan G30S/PKI”.
Melalui operasi penyingkiran PKI yang terorganisir, banyak warga masyarakat (laki-laki atau perempuan) yang ditutuh PKI atau dekat dengan PKI dieksekusi langsung, disiksa, diperkosa, ditangkap dan ditahan untuk kemudian pada dini hari dieksekusi.
Proses peradilan seakan-akan tidak berlaku untuk mereka yang menjadi korban pembantaian massal. Dimanakah hak mereka untuk mendapat perlindungan hukum sebagai WNI ?
Ketika kita menutup mata terhadap kebenaran sejarah dan selalu menghindari objektivitas sejarah, kita akan terkungkung dan jauh dari rasa kemanusiaan dan keadilan.
Muncul sebuah pertanyaan: Pengkhianatan terhadap Pancasila terjadi dalam peristiwa 1965 atau justru terjadi pasca1965? Sebuah refleksi bahwa Peristiwa G30S secara tidak langsung telah membabat habis pemimpin-pemimpin bangsa yang potensial setelah Sukarno.


Link Web Opini Tribun Jogja

Halaman 1

Halaman 2


Selasa, 23 Februari 2016

Rusuh Mempawah dan Antipati Terorisme

Opini Jawa Pos, 22/1/2016

Oleh Yulius Dwi Cahyono*

     BELUM genap satu minggu teror Jakarta (14/1), tragedi lain kembali muncul dalam motif dan bentuk yang berbeda. Segerombolan massa dalam jumlah yang banyak melakukan pembakaran permukiman dan pengusiran paksa terhadap sekitar 700 warga eks pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Mempawah, Kalimantan Barat (19/1).
     Hadirnya permukiman baru yang dihuni warga eks Gafatar asal Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jogjakarta itu dinilai dapat menjadi virus dan mengancam keamanan Mempawah. Mereka menginginkan eks Gafatar hengkang dari sana.
     Peristiwa tersebut, jika kita cermati, tidak dapat dipisahkan dari aksi teror bom di Thamrin, Jakarta. Aksi teroris yang lebih nekat dan terbuka itu secara psikologis memberikan dampak tidak langsung terhadap warga. Warga menjadi semakin sensitif, geram, dan antipati terhadap setiap gerakan yang dinilai berpotensi melakukan aksiaksi teror. Aksi main hakim sendiri seperti di Mempawah pun menjadi tidak terelakkan.
     Gafatar sejatinya telah berdiri sejak 2011. Secara resmi organisasi itu dideklarasikan pada 21 Januari 2012 dengan Ketua Umum Mahful M. Tumanurung. Gafatar mengklaim sebagai organisasi kemasyarakatan yang berasas Pancasila.
     Menurut pengamat teroris Al Chaidar, organisasi itu merupakan metamorfosis dari Millah Abraham pimpinan Ahmad Musadeq. Lantas berkembang menjadi Negara Islam Indonesia (NII) hingga kemudian terbentuk Gafatar.
    Itu senada dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang pada intinya mengatakan bahwa organisasi tersebut memiliki pertalian dengan NII. Nama organisasi itu mencuat ketika dokter Rica Tri Handayani –yang diduga pernah mengikuti organisasi tersebut dikabarkan menghilang sejak 30 Desember 2015 dan ditemukan di Mempawah (11/1).
Dari peristiwa Mempawah dan bom Thamrin dapat ditangkap kesan bahwa betapa mudahnya warga kita terprovokasi melakukan tindak kekerasan (main hakim sendiri). Dan begitu mudahnya pula warga kita terpikat serta mengikuti berbagai organisasi semacam Gafatar.

Mengapa demikian?
     Pertama, pemerintah kurang memiliki ketegasan bertindak dalam mengontrol dan menindak tegas organisasi-organisasi yang tidak selaras dengan empat pilar kehidupan berbangsa, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI. Dilihat dari sejarah perkembangan radikalisme di Indonesia, masa Orde Lama dan Orde Baru (terlepas dari praktik manipulasi di era Orde Baru ini) jauh lebih tegas dalam meredam gerakan radikal daripada era reformasi ini.
   Terbukti, ketika Orde Baru tumbang, beberapa kelompok radikal mulai bermunculan dengan memanfaatkan kebebasan di era reformasi. Salah satu permasalahan utama di era reformasi memang kebebasan yang tidak terkontrol. Dalam prinsip hidup berdemokrasi, kebebasan yang tidak diatur dengan baik dapat berbenturan dengan kebebasan yang lain.
     Dari kasus Gafatar, pemerintah tergolong terlambat bertindak mengingat organisasi itu telah lima tahun berjalan. Kurangnya pengawasan dan ketegasan pemerintah memunculkan rasa tidak puas, tidak aman, dan surutnya kepercayaan masyarakat.
     Antipati terhadap terorisme tumbuh dalam bentuk yang negatif. Sebagai dampaknya, 700 warga eks Gafatar yang mungkin tidak lagi hidup sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi tersebut menjadi korban. Hak mereka sebagai warga negera juga terampas.
   Upaya rehabilitasi sebaiknya perlu dilakukan untuk warga eks pengikut organisasi-organisasi radikal. Itu bertujuan untuk menghindari labelisasi sebagai kelompok teror dan demi menumbuhkan kepercayaan serta rasa aman warga non-eks organisasi radikal. Rehabilitasi tersebut juga penting untuk mengarahkan mereka berdasar empat pilar kehidupan berbangsa di atas.
     Kedua, terjadi degradasi moral bangsa. Dalam era reformasi ini sungguh masyarakat kita disuguhi banyak praktik tidak terpuji. Mulai praktik korupsi, pelanggaran hukum, hingga tindakan amoral lainnya. Menjadi contoh antara lain kasus Setya Novanto dan Damayanti Wisnu. Akibat degradasi moral yang tidak ketulungan itu, sampai beredar istilah ”Negeri Para Mafia” untuk negeri ini. Sungguh ironis, bukan?
    Terkait dengan kasus radikalisme di Indonesia, pada dasarnya radikalisme adalah aliran yang menuntut perubahan sosial dan politik dalam suatu negara secara keras. Sehingga secara tidak sadar kemerosotan moral para wakil rakyat dan krisis multidimensi turut memicu/menyumbang berkembang dan lahirnya gerakan radikalisme.
     Juga semakin banyak pribadi yang tertarik untuk bergabung dengan gerakan semacam itu dengan alasan ingin merombak keterpurukan tersebut. Realitas keterpurukan moralitas para wakil rakyat dan adanya ketidakadilan menjadi rumus yang ampuh untuk merekrut anggota baru dalam gerakan mereka.
     Ketiga, masyarakat secara umum belum terbiasa berpikir kritis terkait gerakan radikalisme saat ini. Prof Syafii Maarif, salah seorang ulama besar Indonesia, pernah menyatakan bahwa khalifah saat ini bukan merupakan produk syariat Islam. Melainkan produk politik pasca-Nabi.
    Menurut beliau, kekhalifahan modern tidak memiliki tempat berpijak di dalam Alquran dan Assunnah. Sederhananya, pemaksaan syariat dalam khalifah modern yang sering diusung kelompok radikal merupakan bentuk politisasi agama.
      Sebagaimana yang diungkapkan Presiden Pertama RI Soekarno, bangsa yang kuat adalah bangsa yang masyarakatnya berkarakter. Karena itu, perbaikan kualitas mental bangsa menjadi bangsa yang kritis dan terbuka sesuai dengan empat pilar kehidupan berbangsa adalah jalan terbaik untuk meredam gerakan radikal. Juga mencegah kekerdilan dalam berpikir.


*) Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma Jogjakarta

Opini Jawa Pos Oleh Yulius Dwi Cahyono, M.Pd.

Imlek dan Para Presiden Indonesia

Oleh : Yulius Dwi Cahyono, M.Pd.
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah 
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 

Dimuat di Opini Tribun Jogja tanggal 05/02/2016

SAUDARA-SAUDARA kita Tionghoa akan merayakan "Tahun Baru Imlek" 2567 Tahun Monyet Api, pada hari Senin (8/2/2016).
Perayaan tahun baru yang dahulu tak bisa dirayakan secara terbuka di era Orde Baru, kala masyarakat Tionghoa terkekang untuk tampil di ruang publik sehingga identitas diri mereka pun terbenam.
Apa awal mulanya Indonesia bersikap diskriminatif terhadap saudara-sarudar kita Tionghoa? Kita harus kembali melihat ulang sejarah bangsa, pada masa Presiden Soekarno berkuasa (Orde Lama).
Ketika Republik Indonesia baru berdiri, Soekarno pada tahun 1946 mengeluarkan penetapan pemerintah mengenai hari-hari raya umat beragama No 2/OEM-1946.
Pada pasal 4 ditetapkan empat hari raya orang Tionghoa, yaitu Tahun Baru Imlek, Hari Raya Wafatnya Khonghucu, Ceng Beng, dan Hari Lahir Khonghucu. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia konsisten dalam menghargai keberagaman dalam masyarakat.
Berbeda, ketika Presiden Soeharto berkuasa (Orde Baru). Pada tahun1967, melalui Inpres No 14/1967 dilakukan pembatasan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina.
Secara sistematis masyarakat Tionghoa menjadi tereliminasi atas identitas dirinya.
Perayaan tradisi dan keagamaan masyarakat Tionghoa, mulai dari Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun, tarian Barongsai dan Liong, dilarang dirayakan/dipertunjukkan di ruang publik.
Tekanan semakin diperkuat melalui Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB), yang menganjurkan keturunan Tionghoa melupakan dan tidak menggunakan lagi nama Tionghoa, menikah dengan orang Indonesia pribumi asli, menanggalkan dan menghilangkan agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa (termasuk bahasa, kebiasaan, dan kebudayaan Tionghoa) dalam kehidupan sehari-hari.
Muncul SE Mendagri No 477/74054 tahun 1978, yang berisi, antara lain, pemerintah menolak mencatat perkawinan pemeluk agama Khonghucu.
Pemerintah juga menolak mencantumkan Khonghucu dalam kolom agama di KTP. Lalu, melalui surat Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depag No H/BA.00/29/1/1993 pemerintah melarang perayakan Imlek di Vihara dan Cetya. Imlek hanya boleh dirayakan secara tertutup di dalam rumah.
Di era reformasi, udara segar bagi masyarakat Tionghoa menampilkan ekspresi kultural dan religiusnya di ruang publik, tidak lepas dari pera Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), melalui Keppres No 6/2000 tentang pencabutan Inpres No14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa.
Tahun 2001, melalui Keputusan Menteri Agama No13/2001, Imlekditetapkan sebagai hari libur nasional fakultatif. Baru pada masa Presiden Megawati, melalui Keppres No 19/ 2002, Imlek menjadi hari libur nasional mulai 2003.
Semangat keberagaman ini semakin memperkokoh bangsa selama kita mengamalkan visi dan misi para pendiri bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Harus kita renungkan, dalam bingkai Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI, keragaman budaya adalah kekayaan, kekuatan, potensi yang mampu menjunjung tinggi harga diri Tanah Air tercinta, untuk menjadi pusat perhatian dunia, dihargai dan disegani dunia. Xin Nian Kuai Le.



Senin, 22 Februari 2016

E-LEARNING (EDMODO) SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN SEJARAH

 Yulius Dwi Cahyono
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Alamat korespondensi: Kampus I Mrican, Jl. Afandi, Yogyakarta
E-mail: dwch543@gmail.com

Dimuat dalam Jurnal Penelitian USD Volume 18, No 2, Mei 2015, hlm 102-112.

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1)  Kriteria media e-learning yang baik. (2) Materi yang sesuai dengan e-learning. (3) Pemanfaatan media e-learning dalam pembelajaran sejarah.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan studi pustaka. Melalui metode ini, peneliti menggunakan berbagai sumber pustaka yang relevan dengan topik penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukkan : (1) Media e-learning yang baik memiliki pertama, template yang menarik. E-learning dengan template yang menarik akan meningkatkan minat mahasiswa dalam menggunakan media tersebut. Kedua, memiliki fitur komunikasi. Fitur ini memiliki peranan penting dalam memberikan ruang dan waktu yang lebih fleksibel untuk berkomunikasi atau bertanya pada dosen. Keterbatasan ruang dan waktu di kelas untuk melakukan hal tersebut dapat teratasi dengan fitur komunikasi. Ketiga, memiliki fitur posting untuk berbagi materi, informasi dan berkomunikasi secara massal baik dari dosen ke mahasiswa dan sebaliknya, maupun antar mahasiswa. Keempat, memiliki fitur library sebagai ruang penyimpanan sumber belajar. Kelima, memiliki fitur Assigment dan Quiz untuk memberikan evaluasi dan penilaian. Keenam, memiliki fitur polling untuk membuat jejak pendapat. Ketujuh, memiliki fitur progres report untuk memantau perkembangan mahasiswa secara individual. Kedelapan, memiliki fitur profil yang menyimpan segala informasi pribadi mahasiswa. (2) E-learning baik digunakan pada materi yang sulit untuk dipahami dan memerlukan waktu lama dalam penyampaiannya. (3) Dosen perlu untuk membuat kontrak belajar yang jelas dan konsisten dalam mengupdate serta dalam merespon pertanyaan dan komentar mahasiswa. Pemikiran dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam meningkatkan kualitas e-learning berbasis moodle khusunya Excelsa USD.




ABSTRACT

The purpose of this study was to determine: (1) Criteria good e-learning media. (2) The material in accordance with e-learning. (3) Use e-learning media in the teaching of history.
This study uses descriptive qualitative method and literature. Through this method, researchers use various sources of literature relevant to the research topic.
The results showed: (1) The e-learning media is good to have the first, attractive templates. E-learning with attractive templates will increase student interest to using that media. Second, have a communication features. This feature has an important role in providing the space and time that is more flexible to communicate or ask the lecturer. Limitations of space and time in class to do this can be resolved with communication features. Third, feature post to share materials, information and mass communication both from lecturer to students and vice versa, as well as among students. Fourth, features a library as a learning resource storage space. Fifth, assigment and quiz features to provide evaluation and assessment. Sixth, have a polling feature to create a poll. Seventh, features a progress report to monitor the progress of individual students. Eighth, features profiles that store all the personal information of students. (2) E-learning is best used on materials that are difficult to understand and require a long time in its delivery. (3) Lecturer need to create a clear learning contract and consistent in updating and responding to student questions and comments. Thinking in this study is expected to contribute in improving the quality of e-learning based moodle especially Excelsa USD.

Keyword: E-Learning, Edmodo, Media, Learning, History.

1.    PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi komunikasi dan media sosial saat ini berlangsung begitu pesat dan cepat. Informasi apapun dapat diakses dengan mudah di manapun dan kapan pun melalui smartphone, tablet dan laptop yang terkoneksi dengan jaringan internet. Piranti-piranti canggih tersebut kini hadir mulai dari kelas yang paling ekonomis hingga kelas high end. Hadirnya piranti canggih kelas ekonomis ini semakin membuka peluang yang lebar bagi para mahasiswa dari kelas ekonomi menegah ke bawah untuk dapat mengakses berbagai hal di dunia maya secara mobile. Kondisi ini semakin didukung dengan adanya penawaran akases internet murah dari berbagai provider yang semakin menjamur. Lembaga pendidikan khususnya Perguruan Tinggi pada umumnya telah menyediakan layanan Free Hot Spot untuk dosen dan mahasiswanya. Digitalisasi penyampaian segala bentuk informasi, semakin murahnya dan mudahnya akses internet secara tidak langsung mempengaruhi cara belajar peserta didik dalam menggali segala macam informasi terkait dengan materi yang mereka pelajari, dalam lingkup kegiatan pembelajaran.
Hal ini dapat kita lihat dari kecenderungan mahasiswa ketika mendapat tugas dari dosen salah satunya diselesaikan dengan cara mencari data-data yang diperlukan dengan browsing di internet. Penjelajahan melalui dunia internet tersebut mampu memperluas informasi yang diharapkan dapat menunjang pemahaman dalam belajar. Sumber belajar di dunia internet pun tidak hanya terbatas dalam format teks tetapi juga dapat dalam format audiovisual (video). Dua format media belajar di dunia internet ini setidaknya mampu mewakili gaya belajar peserta didik yang berbeda-beda. Secara logis dengan terwakilinya gaya belajar yang berbeda tersebut semakin banyak peserta didik yang mampu mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Berdasarkan latar belakang tersebut seorang pendidik maupun calon pendidik (mahasiswa program studi pendidikan), sangat perlu untuk memahami dan mampu menguasai teknologi untuk digunakan secara positif dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini menjadi sangat penting karena mau tidak mau, teknologi dimasa yang akan datang, akan menjadi semakin lebih dekat dengan kehidupan manusia dan menjadi sebuah kebutuhan. Jika dikaitkan dengan konteks pembelajaran maka kebutuhan akan suatu konsep dan mekanisme belajar mengajar berbasis TI (E-Learning) menjadi tidak terelakkan lagi.  Kondisi ini juga didukung dengan semakin terjangkaunya fasilitas untuk memungkinkan peserta didik mengkases dunia maya secara mobile.
E-Learning sebagai media pembelajaran sejarah digunakan untuk meningkatkan efektiftas dan efisiensi dalam mencapai tujuan pembelajaran. Media ini juga dapat digunakan untuk mengatasi beberapa permasalahan dalam belajar. Permasalahan tersebut dalam penelitian ini khusunya terkait dengan perbedaan gaya belajar peserta didik dan untuk membantu mempermudah memahami materi pembelajaran yang dipandang sulit. Salah satu materi yang dipandang sulit untuk dipahami, misalnya “Sejarah Peristiwa 1965”.
Materi “Sejarah Peristiwa 1965” dalam pembelajaran sejarah merupakan materi yang harus dipahami secara jeli, untuk dapat menangkap makna yang terkandung dalam peristiwa tersebut. Jika dikategorikan materi ini termasuk ke dalam materi sejarah kontroversial, sehingga untuk memahaminya diperlukan pemahaman dasar yang kuat dan kemampuan beranalisis yang baik. Untuk menunjang hal ini tentunya diperlukan sumber belajar yang cukup lengkap dan sumber suplemen lainnya, serta waktu yang lebih luas dan fleksibel untuk berkomunikasi antara peserta didik dan pendidik. Oleh karena itu dalam memahaminya pendidik tidak cukup hanya menyampaikan di dalam kelas konvensional semata, yang terbatas pada ruang dan waktu. Oleh karena itu diperlukan sebuah prasarana yang dapat memberikan wadah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini dapat dipenuhi dengan memanfaatkan media E-Leraning. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka yang mencoba mengungkapkan ide-ide terkait dengan pemanfaatan E-Learning terbatas dalam pembelajaran sejarah. Permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah (1). Bagaimana kriteria media E-Learning yang baik ? (2). Bagaimana menentukan materi yang sesuai dengan media E-Learning dalam pembelajaran sejarah ? (3).Bagaimana pemanfaatan E-Learning dalam pembelajaran sejarah ?. Peneltian ini memiliki tujuan sebagai berikut : (1). Mendeskripsikan kriteria media E-Learning yang baik. (2). Mendeskripsikan materi yang sesuai dengan media E-Learning dalam pembelajaran sejarah. (3). Mendeskripsikan pemanfaatan E-Learning dalam pembelajaran sejarah.
.
2.    LANDASAN TEORI
2.1.  Media Pembelajaran
Kata media berasal dari kata medium yang secara harafiah berarti perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan (Arief S. Sadiman, dkk, 2011 : 6). Pengertian media dalam penelitian ini dibatasi pada media pendidikan yakni media yang digunakan sebagai alat dan bahan penunjang pembelajaran.
Arif S. Sadiman (2011:17) mengemukakan bahwa, media pembelajaran mempunyai manfaat : (1) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalitas (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka); (2) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, seperti objek yang terlalu besar bisa digantikan dengan realita, gambar, film bingkai atau model; (3) dengan menggunakan media pembelajaran secara tepat dan bervariasi dapat diatasi sikap pasif anak didik, sehingga dapat menimbulkan kegairahan belajar, memungkinan interaksi yang lebih langsung antara siswa dengan dunia realita, memungkinkan belajar sendiri menurut kemampuan dan minat; (4) dengan menggunakan media pembelajaran secara tepat guru dapat mengatasi kesulitan-kesulitan akibat perbedaan sifat, lingkungan maupun pengalaman peserta didik.
Pembelajaran sejarah dikatakan baik jika proses pembelajaran mampu mengembangkan konsep generalisasi dan bahan abstrak dari peristiwa masa lampau dapat menjadi hal yang jelas dan nyata. Atas dasar tersebut, pembelajaran sejarah menggunakan media secara khusus berupa, pertama, pengalaman langsung (benda sesungguhnya). Kedua, demonstrasi dan model seperti sandiwara boneka, wayang, untuk menyampaikan konsep sejarah berupa alat bantu mengajar sejarah yang berupa bentuk-bentuk khusus yang bersifat tiga dimensi merupakan tiruan dari unsur-unsur peristiwa sejarah. Ketiga, gambar/foto/sketsa. Keempat, bagan/chart, berupa penyajian bergambar dan garis untuk mendaftar sejumlah besar informasi/menunjukkan perkembangan ide, objek, lembaga, orang/keluarga ditinjau dari sudut waktu dan ruang. Kelima, peta sejarah, berupa lukisan visual dari ruang/tempat peristiwa sejarah terjadi. Keenam, laboratorium sejarah. Ketujuh, film, video, televisi, slide. Kedepalan, radio/tape recorder.
Dalam pembelajaran sejarah, media berguna untuk memvisualisasi fakta-fakta sejarah dan berfungsi sebagai sumber belajar. Posisi dan kedudukan media dalam keseluruhan sistem pembelajaran merupakan bagian integral dari sistem pembelajaran yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemampuan siswa sehingga dapat mendorong siswa untuk belajar. Sumber belajar yang digunakan pendidik dan peserta didik adalah buku-buku sejarah dan sumber informasi, namun akan lebih efektif dan jelas jika pendidik menyertai dengan berbagai media pembelajaran yang dapat membantu menjelaskan bahan materi lebih realistik.



2.2.  E-Learning
Beberapa konsep menganai E-Leraning perlu untuk dipahami dan disampaikan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam memahaminya. E-Learning  dapat diartikan “as instruction delivered on a computer by way of CD-ROM, Internet, or Intranet ...” (Ruth Colvin Clark, 2008:19).  Menurut The American Society for trinning and Development (ASTD) “E-Learning merupakan proses dan kegiatan penerapan pembelajaran berbasis web (web-based learning), pembelajaran berbasis computer (computer based learning), kelas virtual (virtual classrooms) dan atau kelas digital (digital classrooms). Materi-materi dalam kegiatan pembelajaran elektronik tersebut kebanyakan dihantarkan melalui media internet, intranet, tape video atau audio, penyiaran melalui satelit, televisi interaktif serta CD-ROM” (Rusman, 2011:263).
Menurut Rusman (2011:265) E-Learning adalah segala aktivitas belajar menggunakan bantuan teknologi elektronik. Definsi lain diungkapkan oleh Jaya Kumar C. Koran, e-learning adalah pembelajaran yang menggunakan rangkaian elektronik (LAN, WLAN, atau Internet) untuk menyampaikan isi pembelajaran, interaksi, atau bimbingan.
Dabbagh & Ritland mengatakan bahwa e-learning merupakan lingkungan belajar terbuka dan tersebar yang menggunakan alat-alat pedagogis, dimungkinkan dengan internet dan teknologi berbasis web, untuk memavasilitasi belajar dan pembentukan pengetahuan melalui kegiatan dan interaksi yang bermakna (Sri Anitah, 2011:128). Senada dengan pendapat ke dua tokoh ini Cambell dan Kamarga menekankan penggunaan internet dalam pendidikan sebagai hakikat e-learning, bahkan Onno W. Purbo menjelaskan bahwa istilah “e” atau singkatan dari elektronik dalam e-learning digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha pembelajaran lewat teknologi elektronik internet (Rusman, 2011:288)
Untuk lebih memperjelas makna e-learning kita perlu penulis membaca filosofi e-learning menurut Cisco (Rusman, 2011:289) yang berbunyi sebagai berikut. Pertama, e-learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan, pelatihan secara on-line. Kedua, menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar konvensional (model belajar konvensional, kajian terhadap buku teks, CD ROM, dan pelatihan berbasis komputer). Ketiga, e-learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan pengembangan teknologi pendidikan. Keempat, kapasitas peserta didik amat bervariasi tergantung pada bentuk, isi, dan cara penyampaiannya. Makin baik keselarasan antar content dan alat penyampai dengan gaya belajar, maka akan lebih baik kapasitas peserta didik yang pada gilirannya akan memberi hasil belajar yang baik.
Mengacu pada beberapa definisi dan filosfis e-learning di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa e-learning adalah media pembelajaran yang terintegrasi dengan internet yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran untuk menyampaikan materi pembelajaran, berbagai informasi, berkomunikasi dan brediskusi secara on-line dengan sarana pendukung berupa perangkat komputer dan website yang terkoneksi dengan jaringan internet. Materi dalam e-learning ini dapat berbentuk teks, gambar, animasi, simulasi, audio dan video. .
 Berdasarkan tipenya e-learning dibedakan menjadi dua yaitu : Synchronous dan Asynchronous. Tipe Synchronous berarti “pada waktu yang bersama-sama”. Artinya tipe ini adalah tipe pembelajaran yang berlangsung pada saat yang sama ketika pengajar sedang mengajar dan peserta didik sedang belajar. Sedangkan tipe Asynchronous berarti “tidak pada waktu bersamaan”. Jadi seseorang dapat mengambil pelajaran pada waktu yang berbeda dengan pengajar memberikan pembelajaran  (Empy Effendi, 2005:7). Dalam penelitian ini tipe  Asynchronous yang akan menjadi fokus penelitian.

a.      Karakteristik E-Learning
E-Leraning memiliki karakteristik yang berbeda dengan pembelajaran konvensional, karakteristik tersebut sebagai berikut: (Rusman, 2011:264)
1)      Interactivity (Interaktivitas); tersedianya jalur komunikasi yang lebih banyak, baik secara langsung (Synchronous), seperti chatting atau messenger atau tidak langsung (Asynchronous), seperti forum, maillinglist atau buku tamu.
2)      Indepedency (Kemadirian); fleksibilitas dalam aspek penyediaan waktu, tempat, pengajar dan bahan ajar. Hal ini menyebabkan pembelajaran menjadi lebih terpusat kepada siswa.
3)      Accesbillity (Aksesibilitas) sumber-sumber belajar menajadi lebih mudah diakses melalui pendistribusian di jaringan internet dengan akses yang lebih luas dari pada pendistribusian sumber belajar pada pembelajaran konvensional.
4)      Enrichment (Pengayaan); kegiatan pembelajaran, presentasi materi kuliah dan materi pelatihan sebagai pengayaan, memungkinkan penggunaan perangkat teknologi informasi seperti video streaming, simulasi dan animasi.

b.      Keunggulan E-Leraning
Menurut Rusman (2011:292), e-Learning memiliki beberapa keunggulan antara lain :
1)      Tersedianya fasilitas e-moderating dimana pendidik dan peserta didik dapat berkomunikasi secara mudah melalui fasilitas internet secara regular atau kapan saja kegiatan berkomunikasi itu dilakukan dengan tanpa dibatasi oleh jarak, tempat dan waktu.
2)      Pendidik dan peserta didik dapat menggunakan bahan ajar atau petunjuk belajar yang terstuktur dan terjadwal melalui internet, sehingga keduanya bisa saling menilai sampai berapa jauh bahan ajar yang dipelajari.
3)      Peserta didik dapat belajar atau me-review bahan pelajaran setiap saat dan di mana saja kalau diperlukan mengingat bahan ajar tersimpan di komputer.
4)      Bila peserta didik memerlukan tambahan informasi yang berkaitan dengan bahan yang dipelajarinya, ia dapat melakukan akses di internet secara lebih mudah.
5)      Baik pendidik maupun peserta didik dapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat diikuti dengan jumlah peserta yang banyak, sehingga menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
6)      Berubahnya peranan peserta didik dari yang biasanya pasif menjadi aktif dan lebih mandiri.
Keunggulan e-learning juga diungkapkan oleh Empy Effendi dan Hartono Zhuang dalam bukunya e-learning konsep dan aplikasinya (2005:10-13), sebagai berikut :
1.      Fleksibilitas waktu
Peserta didik dapat menyesuaikan waktu belajar, misalnya mereka dapat menyisihkan waktu belajar mereka setelah pulang kuliah. Pelajar mudah mengakses e-learning, ketika waktu sudah tidak memungkinkan atau ada hal lain yang lebih mendesak mereka dapat meninggalkan e-learning saat itu juga.
2.      Fleksibilitas tempat
Peserta didik dapat mengakses e-leraning dimanapun dan tidak harus di kelas, dapat di rumah, tempat umum, bahkan mall, karena tidak ada batasan tempat, selama ada atau terkoneksi dengan jaringan internet.
3.      Fleksibilitas kecepatan pembelajaran
Masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda-beda, sehingga menjadi wajar jika di dalam suatu kelas ada siswa yang dapat mengerti dengan cepat dan ada yang harus mengulang pelajaran untuk memahaminya. Dalam suatu kegiatan pemeblajaran pendidik mengajar dengan kecepatan yang sama untuk semua peserta didik, sehingga peserta didik yang lambat akan sulit dalam memahami. Dalam hal ini peserta didik dapat menjadi frustasi. Siswa yang lebih cepat menginginkan lebih banyak materi sedangkan siswa yang lambat menginginkan pengulangan pelajaran. Melalui e-leraning siswa dapat disesuaikan dengan kecepatan belajar masing-masing siswa. Dalam hal ini siswa mengatur sendiri kecepatan dalam mengikuti pelajaran. Jika belum mengerti siswa dapat mempelajari materi yang terdapat di dalamnya dengan mendownload modul maupun artikel terkait dan mengulanginya di rumah.
4.      Efektivitas pengajaran
Materi pelajaran dalam e-leraning dapat disajikan dalam bentuk simulasi dan kasus-kasus, menggunakan bentuk permainan dan menerapkan teknologi animasi canggih. Bentuk-bentuk pembelajaran tersebut dapat membantu proses pembelajaran dan mempertahankan minat belajar.

3.    METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan studi pustaka. Melalui metode ini, peneliti menggunakan berbagai sumber pustaka yang relevan dengan topik penelitian. Teori dan pemikiran yang tertuang dalam sumber pustaka digunakan sebagai dasar bagi peneliti untuk mendeskripsikan, menganalisis dan memunculkan ide-ide baru dalam menjawab problematika seputar penggunaan media pembelajaran E-Leraning dalam pembelajaran sejarah.

4.    KRITERIA MEDIA E-LERANING YANG BAIK
E-Learning menjadi hal yang masih hangat diperbincangkan dalam dunia pendidikan hingga hari ini. Penulis mengklasifikasikan media ini menjadi dua Open Source E-Learning contohnya Moodle dan Free E-learning contohnya Edmodo dan Quipper School. Media ini pada umumnya diterapkan baik dalam tingkat pendidikan SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Pada umumnya media e-learning yang digunakan secara resmi adalah e-learning berbasis Moodle yang bersifat open source. Pada awal penggunaanya media e-learning berbasis moodle ini cukup mendapat respon, namun demikian dalam praktik kesehariannya semakin mengalami penurunan penggunaanya oleh peserta didik. Hal ini terjadi karena kurang memperhatikan kriteria media e-learning yang baik dalam membangun, mengembangkan, dan atau menggunakannya. Adapun kiteria media ini yang baik adalah sebagai berikut.

4.1.  Template yang Menarik
Setiap aplikasi e-learning memiliki template yang tentunya berbeda-beda satu dengan yang lainnya, secara singkat template adalah tampilan dari sebuah aplikasi e-learning. Namun demikian sebuah e-learning hendaknya memilki template yang menarik. Hal ini terkait dengan fungsi dari media pembelajaran sendiri, menurut Camp & Dayton media salah satunya memiliki fungsi memotivasi minat dan tindakan. (Sukiman, 2012:39). Dengan demikian media yang tidak mampu memberikan daya tarik tidak akan mampu menumbuhkan minat dan tindakan, sehingga kehadiran media tidak mampu menjadikan mahasiswa melakukan sebuah tindakan yang mendukung proses pembelajaran. Hal ini sama halnya dengan e-learning yang memiliki template kaku dan tidak menarik (kering), tidak akan mampu menarik minat atau perhatian mahasiswa dalam menggunakan media ini, terlebih memancing sebuah tindakan lebih lanjut untuk melakukan sebuah proses pembelajaran menggunakan media ini. Pada hakekatnya, dari sekian jumlah mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran pada satu mata kuliah tidak semua terkondisikan mau/atau memiliki perhatian terhadap materi pembelajaran. Kehadiran sebuah media salah satunya bertujuan untuk mengubah situasi tersebut dan mengkondisikan mahasiswa untuk mau melakukan sebuah proses belajar yang lebih mendalam.
  Kasus template yang tidak menarik tersebut umumnya terjadi pada e-learning berbasis moodle. Jika dibandingkan dengan free e-learning seperti Edmodo dan Quipper School, menjadi sangat berbeda. Kedua media ini memiliki template yang jauh lebih menarik dan interaktif dibandingkan dengan e-learning berbasis moodle yang ada hingga saat ini (tetapi tetap perlu untuk dikritisi). Tidak mengherankan jika terjadi pergeseran minat ke Edmodo dan Quipper School. Meskipun demikian, e-learning berbasis moodle memiliki keunggulan dalam hal eksistensi aplikasi karena eksitensinya tergantung dari lembaga pendidikan yang membangun, dalam artian lebih terkontrol. Sementara untuk Edmodo dan Quipper School, eksistensi aplikasi ini tidak terkontrol karena tergantung dari pengembang dan administratornya yang otoritasnya di luar jangkauan pengajar (dosen) yang menggunakannya.
Terlepas dari kelemahanya, setidaknya Edmodo dan Quipper School dapat menjadi bahan referensi bagi sebuah lembaga pendidikan yang mengembangkan e-learning berbasis moodle yang lebih baik. E-learning tidak berarti menggantikan model pembelajaran konvensional di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan konten dan pengembangan teknologi pendidikan (Rusman, 2012:347). Meskipun demikian, tidak berarti kelas maya yang disajikan melelui e-learning dibangun tanpa memperhatikan aspek visual dari media ini.
Aspek visual ini terlihat dari template sebuah e-learning. Template yang baik memperhatiakn aspek perpaduan dan pemilihan warna dan tata letak dari halaman media tersebut. Ketika mahasiswa log in ke dalam media ini diharapkan merasakan kenyamanan visual ketika menjelajahi fitur dari media tersebut. Kenyamanan visual ini akan mendorong dan membangkitkan minat dalam menggunakan media ini termasuk untuk bereksplorasi melalui media ini dalam meningkatkan pemahaman mahasiswa terkait dengan materi yang dipelajari.   
Hal ini tentunya untuk menghindari hilangnya minat mahasiswa dalam menggunakan media ini dan mengingat terdapat beberapa keuntunga yang diberikan melalui media ini salah satunya adanya fleksibilitas waktu dalam belajar di mana mahasiswa menentukan belajarnya sesuai dengan kecepatan belajar yang dimilikinya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran apapun wujudnya pada dasarnya memiliki fungsi untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran terutama membatu peserta didik belajar (Rusman, 2011:171). Kualitas pembelajaran dalam hal ini tidak hanya kualitas terkait dengan peningkatan pemahaman dan penguasaan materi, tetapi juga terjadi peningkatan kemauan untuk masuk dan melakukan proses belajar yang lebih mendalam, yang salah satunya ditentukan oleh media pembelajaran yang menarik dan mampu menarik perhatian mahasiswa.

4.2.  Memiliki Fitur Komunikasi
Selaras dengan karakteristik e-learning yaitu interactivity (interaktivitas) yang berarti tersedianya jalur komunikasi yang lebih banyak, baik secara langsung (synchronous), seperti chatting atau messenger atau tidak langsung (asynchronous), seperti forum, maillinglist atau buku tamu (Rusman, 2011:264). Jalur komunikasi dalam e-learning wajib tersedia untuk memungkinkan terjadinya komunikasi antara dosen dan mahasiswa terkait dengan peningkatan kualitas proses pembelajaran khusunya pembelajaran di luar kelas.
Media ini sendiri dibangun untuk memberikan fleksibilitas : waktu, tempat, dan kecepatan pembelajaran. Dalam konteks fleksibilitas waktu dan tempat, mahasiswa dapat menyesuaikan waktu dan tempat secara lebih flesksibel untuk bertanya pada dosen. Hal ini untuk mengatasi keterbatsan waktu di kelas dan keterbatasan jumlah mahasiswa yang mungkin untuk berkomunikasi dengan dosen dalam kelas, terlebih ketika jumlah mahasiswa sangat banyak, semisal tiga puluh lima mahasiswa. Dari sekian banyak mahasiswa ini, tentunya tidak semua mahasiswa yang hendak bertanya pada dosen dapat terpenuhi. Melalui fasilitas chat atau posting hal ini dapat terwadahi, sehingga media ini tidak hanya sebagai penyedia materi tetapi juga mampu memberikan saluran komunikasi antara dosen dan mahasiswa. Di samping itu dapat dilakukan di manapun tanpa terbatas ruang atau tempat.
Dalam hal berkomunikasi di media e-learning ini, perlu untuk dibuat kontrak atau kesepakatan dengan mahasiswa agar dosen tidak terikat sepanjang hari untuk melayani (menjawab) pertanyaan mahasiswa. Sementara terkait dengan kecepatan pembelajaran, melalui fasilitas chating dan posting mahasiswa dapat bertanya dengan dosen sesuai dengan tingkat pemahaman yang dimiliki masing-masing mahasiswa, meskipun tidak bertatap muka langsung dengan dosen fasilitas ini dapat merangsang kemandirian dan keberanian mahasiswa dalam mengungkapkan ide dan pertanyaan walaupun melalui bahasa teks.
    
4.3.  Memiliki Fitur Posting
Fitur posting memiliki peran penting dalam mengkomunikasikan segala informasi dan materi secara massal dari dosen ke mahasiswa yang tergabung di dalam kelas e-learning. Jika dianalogikan, fitur ini sama dengan fitur wall dalam media sosial facebook. Melalui fitur ini dosen dapat melakukan up date materi mata kuliah baik berupa materi utuh, ringkasan atau pokok pikiran utama dalam setiap pertemuan di kelas. Hal ini penting dilakukan mengingat kecepatan penerimaan mahasiswa dalam kelas berbeda-beda dan dapat mengatasi keterbatasan kemampuan mahasiswa dalam mencatat penejelasan dosen di kelas.
Melalui fitur ini, hal-hal penting yang disampaikan dosen di kelas dapat dipertegas kembali melalui bahasa teks di halaman posting media ini. Di samping itu, melelui fitur ini dosen dapat mentautkan link dari alamat website yang terkait dan mendukung mahasiswa dalam memahami materi tertentu yang mungkin tidak terdapat di dalam buku referensi. Dosen dapat mengunggah media gambar dan video untuk mendukung materi yang diposting oleh dosen. Jika kapasitas video terlalu besar, dosen dapat mentautkan link video dari youtube pribadi dosen maupun umum.
Meskipun tidak dapat bertatap muka langsung, fitur ini juga mampu membangun sikap peduli mahasiswa dalam berbagi informasi penting dan link, video, gambar penting yang dapat memperkaya informasi antara mahasiswa dalam upaya mendukung pemahaman materi. Sebenarnya tidak hanya meteri semata yang dapat diupload dosen di bagian posting ini, dosen dapat mengupload kata-kata inspiratif dan segala berita atau fenomena sosial yang kontekstual untuk membangun ranah afektif mahasiswa. Sarana untuk melakukan sebuah diskusi on line juga dapat diterapkan melalui fitur ini. Dosen mengupload sebuah persoalan untuk didiskusikan secara terbuka.  

4.4.  Memiliki Fitur Perpustakaan (Library)
Dosen memiliki ruang di media e-learning untuk menyimpan dan memanaje file terkait dengan materi mata kuliah yang mungkin tidak terdapat di buku referensi di dalam silabus dan beberapa file lainnya. Melalui fitur ini dosen dapat menyimpan file power point, file teks seperti modul, file audio, file audio visual, dan file gambar termasuk link-link penting. Semua file dosen yang tersimpan dapat didistiribusikan sesuai dengan kelas dan mata kuliah yang relevan dengan file yang tersimpan di library. Melalui fitur ini file dari dosen dapat didistribusikan secara adil dan objektif, dalam catatan selama mahasiswa memiliki kemandirian dan keaktifan. Hal ini mengingat semua file telah tersedia dan mahasiswa dapat mendownload secara bebas.

4.5.  Memiliki Fitur Assigment dan Quiz
Media e-learning yang baik memiliki fitur pemberian tugas yang dapat dibangun secara mandiri dari dosen. Dalam pengertian bahwa soal untuk tugas dan ujian tidak langsung tesedia begitu saja dan hanya berupa multiple choice. Hal ini penting mengingat kemampuan dan daya analitis mahasiswa tidak akan terasah dengan baik. Kondisi setiap kelas yang dibangun berbeda-beda pada setiap semesternya sehingga dosen perlu melakukan penyesuaian dengan soal untuk tugas dan ujian mahasiswa secara on line. Adanya fitur yang memberi keleluasaan dosen dalam membangun sendiri soal untuk tugas dan ujian juga semakin akan mengasah keterampilan dosen.
Fitur quiz (multiple choice, true-flase, fill in the blank) untuk pendidikan tinggi juga penting dan masih diperlukan sebatas sebagai penjajagan kemampuan awal mahasiswa sebelum memasuki sebuah topik baru dalam perkuliahan.
  
4.6.  Memiliki Fitur Polling
Polling dalam sebuah media e-learning perlu ada hal ini dapat digunakan oleh dosen untuk melalukan survei secara on line terkait banyak hal. Melaui fitur ini, dosen dapat melakukan penghematan penggunaan kertas dan dalam penyusunan sebuah kuisioner survei. Survei dapat terkait dengan dinamika perkuliahan dan jejak pendapat pada suatu kasus tertentu terkait dengan materi perkuliahan. Dalam hal ini, kreativitas dosen yang paling menetukan dalam mengolah survei melalui fitur ini.

4.7.  Memiliki Fitur Progres Report
Fitur ini berisi data terkait dengan nilai tugas, ujian, quiz yang diberikan dosen. Fitur ini dapat mempermudah dosen dalam melihat perkembangan masing-masing mahasiswa selama mahasiswa mengikuti perkuliahan dan tugas, ujian dan quiz on-line.

4.8.  Memiliki Fitur Profil Mahasiswa
Fitur profil mahasiswa yang dimaksud disini tidak hanya sekedar mengenai contact person, tetapi mampu memberikan informasi terkait dengan gaya belajar daii masing-masing mahasiswa. Informasi ini sangat penting terkait dengan penanganan secara tepat oleh dosen mulai dari penggunaan media hingga model pembelajaran yang akan diterapkan. Sehingga e-learning dapat membantu secara cepat dalam menggali informasi gaya belajar mahasiswa. Semakin selaras konten dan alat penyampaian dengan gaya belajar maka akan lebih baik pemahaman mahasiswa yang pada gilirannya akan memberikan hasil yang lebih baik.
Dari sekian kriteria media e-learning yang baik di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa media ini tidak hanya sebagai penyedia materi, tugas dan soal (instan) semata, tetapi mampu menyediakan sarana dan memberikan ruang komunikasi antara dosen dan mahasiswa dan antar mahasiswa dengan mahasiswa. Disamping itu mampu menyediakan sebuah sarana untuk berbagai informasi dan ilmu pengetahuan dari dosen ke mahasiswa dan antara mahasiswa sendiri. Dalam hal ini media ini dapat melatih kepedulian kepada teman sesama mahasiswa yang tergabung di dalam kelas e-learning pada mata kuliah tertentu.

5.    MATERI YANG SESUAI DENGAN MEDIA E-LEARNING
Terkait dengan implementasi pembelajaran melalui e-learning Sri Anitah menegaskan bahwa tidak semua materi perkuliahan dapat atau harus disajikan secara elektronik (Sri Anitah, 2011:146). Untuk memahami hal ini dapat digunakan filosofi e-learning menurut Cisco (Rusman, 2012:347) sebagai berikut. Pertama, e-learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan dan pelatihan secara on-line. Kedua, e-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar secara konvensional sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan globalisasi. Ketiga, e-learning tidak berarti mengantikan model konvensional di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan conten dan pengembangan teknologi pendidikan.
Menurut penulis, materi yang tepat untuk disajikan di dalam edmodo adalah materi yang dipandang sulit untuk dipahamai dan memerlukan waktu lama dalam penyampaiannya (materi tergolong banyak). Jika dikaitkan dengan filosofis di atas, materi yang sulit untuk dipahami secara logis memerlukan waktu yang lama untuk penyampaiannya begitu juga dengan materi yang tergolong banyak, hal ini dapat diatasi melalui pembelajaran di luar kelas melalui edmodo. Melalui edmodo keterbatasan waktu dalam pembelajaran konvensional dapat diatasi. Melalui media ini mahasiswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dapat memperoleh pengayaan sementara mahasiswa yang kecepatan berada di bawahnya dapat melakukan penggalian informasi melalui berbagai sumber yang disediakan dosen di edmodo atau dengan cara menanyakan langsung dengan mengirimkan pesan ke dosen via edmodo atau bahkan berdiskusi dengan teman. Jika semua materi di edmodokan dapat memunculkan kejenuhan mahasiswa. Semua media pembelajaran tidak ada yang lebih baik dari media pembelajaran yang lain. Akan tetapi, ketika media pembelajaran digunakan secara terus menerus untuk semua materi ada kecenderungan mahasiswa mengalami kejenuhan terhadap model pembelajaran ini.

6.    PEMANFAATAN E-LEARNING DALAM PEMBALAJARAN SEJARAH
Dalam mengimplementasikan pembelajaran melalui e-learning terdapat berbagai aplikasi free e-learning yang dapat digunakan antara lain Edmodo, Quipper School, dan Claroline. Penulis dalam hal ini memilih Edmodo untuk dikaji, dari ketiga apalikasi free e-learning yang ada. Pertimbangan penulis mengkaji Edmodo karena aplikasi ini memenuhi kriteria media e-learning yang baik dibandingkan ke dua aplikasi tersebut bahkan dengan e-learning berbasis moodle. Sementara untuk Quipper School memiliki kelemahan antara lain tidak terdapat fitur posting dan dosen tidak memiliki fleksibilitas dalam membuat soal untuk latihan dan ujian karena semua telah tersedia.
Soal dalam Quipper School dibuat dalam bentuk pilihan ganda hal ini untuk tingkat pendidikan tinggi tidak relevan karena tidak bisa membantu mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan berfikir kritisnya. Dosen dalam hal ini menjadi pasif dalam pengembangan soal terkait untuk tugas dan ujian. Sementara untuk Claroline dari sisi templete belum memenuhi kriteria sebagai media e-learning yang baik, jika dipaksakan untuk digunakan dapat menurunkan minat mahasiswa dalam menggunakan media ini sebagai sarana pembelajaran.
Sebelum memulia menggunakan media e-learning (edmodo) dosen perlu melakukan sosialisai dan pengenalan dari aplikasi yang hendak digunakan. Hal ini senada dengan pendapat Smaldino (2011:209) bahwa mahasiswa perlu untuk mengetahui bagaimana teknologi untuk berkomunikasi dengan dosen dan saling berkomunikasi dengan rekan. Ketika mahasiswa ingin mengajukan pertanyaan, atau ikut serta dalam diskusi mereka harus bisa menggunakan teknologi untuk berinteraksi. Smaldino (2011:209) juga menekankan bahwa disamping penguasaan tersebut mahasiswa harus mengetahui etika untuk berkomunikasi.
Oleh karena itu dosen perlu merencanakannya sebelum proses pembelajaran dimulai untuk melakukan simulasi dengan mahasiswa di kelas terkait dengan berbagai fitur dan cara kerja dari edmodo dalam hal ini. Sosialiasi dan simulasi ini memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Tidak dipahaminya fitur dan cara mengoperasikan edmodo dapat merugikan mahasiswa yang bersangkutan. Sebagai contoh terdapat seorang mahasiswa yang secara akademis memiliki kemampuan yang baik, tetapi hanya kerena salah atau tidak tahu cara mengerjakan tugas atau ujian yang diberikan oleh dosen, mahasiswa tersebut harus kehilangan nilai. Dosen juga harus mensosialiasikan pengunaan aplikasi ini secara lebih efektif dengan memperkenalkan app dari edmodo yang dapat diinstalkan melalui tablet maupaun smartphone milik mahasiswa, dengan demikian mahasiswa akan jauh lebih mudah memperoleh informasi dari edmodo secara lebih up to date dan lebih mobil.
Hal berikutnya yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai kontrak dosen dengan mahasiswa dalam menggunakan e-learning. Secara khusus terkait dengan jadwal on-line dosen. Hal ini untuk menghindari terjadinya penurunan minat mahasiswa terkait dengan kecapatan respon dosen atas pertanyaan mahasiswa.  Sesuai dengan prinsip e-learning bahwa melalui media ini mahasiswa tidak terikat ruang dan waktu untuk mengakses edmodo termasuk di dalam mengirimkan pesan ke dosen. Hal ini dapat berarti bahwa pesan dari mahasiswa kepada dosen sangat terbuka kemungkin dikirim pukul 00:00 Wib. Jika tanpa kontrak dan kesepakatan yang jelas dengan mahasiswa terkait dengan waktu on-line dosen akan menimbulkan persepsi negatif terhadap dosen dan menurunkan minat mahasiswa untuk berkomunikasi menggunakan edmodo. Menjadi hal yang perlu untuk dipahami bahwa dosen sebagai pengajar juga memiliki hak untuk tidak terikat setiap saat setiap detik untuk melayani mahasiswa. Kontrak ini juga dapat menjadi pendidikan nilai bagi mahasiswa akan pentingnya etika dalam berkomunikasi, menghargai hak dosen dan melatih kesabaran mahasiswa diera digital yang seberba mengandalkan kecetapan yang cenderung melupakan sebuah proses.
 Dalam mengkaji mengenai pemanfaatan e-learning edmodo dalam pembelajaran sejarah, penulis memilih materi “Sejarah Peristiwa 1965”. Meteri ini merupakan materi sejarah kontroversial dan rumit untuk dipahami. Dalam mempelajari materi ini tidak cukup disajikan hanya menggunakan buku referensi semata, dalam hal ini diperlukan berbagai jenis sumber belajar baik berupa audio-visual maupun gambar yang dapat mempermudah pemahaman mahasiswa.
Model pemebelajaran e-learning menurut Rasthy dapat diklasifikasikan menjadi tiga model yaitu, adjunct, mixed/blanded, dan fully on line (Dewi Salma Prawradilaga, 2013:36). Model adjunct adalah proses pembelajaran tradisonal plus. Artinya pembelajaran tradisional yang ditunjang dengan sistem penyampaian secara on-line sebagai pengayaan. Sistem on-line ini hanya digunakan sebagai suatu tambahan. Sebagai contoh seorang dosen menugaskan mahasiswa untuk mencari informasi dari internet untuk menunjang pembelajaran di kelas
Model Mixed/Blanded, merupakan penyampaian on-line sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran secara keseluruhan. Proses pembelajaran tatap muka mapupun pembelajaran secara on-line merupakan kesatuan yang utuh. Melalui model ini harus memperhatikan masalah relevansi topik pelajaran yang dapat dilakukan secara on-line dan mana yang dapat dilakukan secara tatap muka, menjadi faktor pertimbangan penting dalam penyesuaian dengan tujuan pembelajaran, materi kuliah, karakteristik mahasiswa maupaun kondisi yang ada. Sementara model on-line penuh, mengartikan bahwa semua proses interaksi pembelajaran dan penyampaian bahan belajar dilakukan secara on-line.
Dari ketiga model pembelajaran di atas penulis menggunakan model mixed/blanded untuk mengkajinya. Pertimbangan penulis memilih model ini adalah pertimbangan untuk mengurangi atau menghindari terlambatnya pendidikan nilai dalam proses pembelajaran. Kurangnya interaksi antara dosen dan mahasiswa atau bahkan antarsesama mahasiswa itu sendiri yang menjadi pokok persoalan. Kemajuan teknologi hendakanya tidak menjadi pembudaya berkurangnya interaksi sosial secara langsung.
Dalam model ini penulis hendak mencoba mengembangkan ide terkait dengan model mixed/blanded. Pengembangan ini disesuaikan dengan jumlah pertemuan dalam satu semester perkuliahan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yaitu sebanyak enam belas kali pertemuan (16). Dari enam belas pertemuan tersebut dikurangi dua pertemuan untuk ujian sisipan pertama dan ujian sisipan kedua. Sehingga dalam hal ini dosen memiliki waktu efektif sebanyak empat belas kali pertemuan. Dalam model pengembangan ini ujian sisipan dan ujian akhir dilakukan secara offline yaitu dilakukan dalam ruang kelas sesuai dengan jadwal ujian.
Materi “Peristiwa 1965” mendapatkan jatah pertemuan sebanyak 4 kali pertemuan. Terbatasnya jumlah pertemuan ini yang kemudian turut melatar belakangi penggunaan edmodo dalam materi ini dengan tujuan untuk menyediakan waktu belajar yang cukup bagi mahasiswa. Dalam empat kali pertemuan ini mahasiswa melakukan proses pembelajaran utama di dalam kelas dan di luar kelas menggunakan edmodo. Pada pertemuan pertama untuk materi ini dosen menyelengarakan pembelajaran di kelas dengan pendekata konstruktivistik dan metode diskusi dan CTL dan PBL.
Dosen dalam hal ini setiap selesai menyelengarkan proses pembelajaran melakukan update posting terkait dengan materi yang disampaikan pada pertemuan pertama. Oleh karena itu dosen bentul-betul perlu menyiapkan dengan matang sebelum perkuliahan dimulai. Keterlambatan update dapat menurunkan minat mahasiswa. Update posting ini dapat berupa ringkasan penjelasan dosen yang mudah dipahami terkait dengan penalaran atau hasil analisis dari materi tersebut. Hal ini penting karena tidak semua mahasiswa dapat menangkap secara utuh penjelasan dosen di dalam kelas. Melalui fitur ini akan memberikan keuntungan bahwa pemahaman mahasiswa akan penjelasan dosen di kelas akan sama.  Oleh karena itu pada setiap akhir perkuliahan dosen perlu untuk mengingatkan mahasiswa untuk mengakses edmodo.
Disamping itu dosen melalui edmodo memberikan sebuah topik untuk didiskusikan secara on-line. Sebagai bahan penunjang disukusi dosen menyediakan sumber lain yang telah disimpan di dalam library edmodo. Meskipun demikian dosen juga memberikan kebebasan untuk mengakses sumber lain yang relevan. Hasil temuan dari diskusi kemudian dibawa kembali ke dalam kelas untuk dibahas bersama dengan dosen. Perlu diperhatikan ketika diskusi di kelas dosen sebaiknya membuka edmodo dan menampilkan hasil diskusi yang mahasiswa lakukan di edmodo, hal ini penting untuk memberikan penghargaan kepada mahasiswa yang aktif dan memotivasi mahasiswa yang kurang atau tidak aktif berdiskusi di edmodo.
Pendiskusian kembali diskusi on-line ke kelas sangat penting untuk untuk pelurusan pemahaman mahasiswa oleh dosen, dan untuk penanaman nilai yang tidak dapat dilakukan di edmodo. Meskipun demikian edmodo mampu memberikan sumbangan dalam penanaman nilai meskipun dalam bentuk penanaman pengetahuan akan nilai yang masih dalam taraf penanaman sikap. Dosen dapat mengupayakan ini dengan menyajikan permasalahan kemanusiaan yang kontekstual melalui posting di edmodo baik dalam format teks, gambar dan video yang terlink dengan edmodo. Cara lain dapat dilakukan dengan menggunakan poster penglitik jiwa atau kata-kata inspiratif yang terkait dengan materi. Kesemuanya ini diperkuat melalui pertemuan di kelas bersama dosen.
Pengunaan beberapa media di edmodo baik berupa teks, gambar dan audio visual dapat membantu para mahasiswa yang memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Terwakilinya gaya belajar dan waktu belajar yang fleksibel ini dapat memberikan hasil yang lebih optimal dalam pemahaman materi perkuliahan.
Dosen harus siap untuk menanggapi pertanyaan dari mahasiswa yang dikirimkan melalui edmodo. Keterlambatan respon atas pertanyaan tersebut dapat menurunkan minat mahasiswa. Sehingga hal yang fital ini perlu diperhatikan dan dosen harus konsekuen atas kontrak atau kesepakatan yang telah dibuat pada awal perkuliahan. Dosen juga perlu untuk memperhatikan mahasiswa dengan kecepatan belajar di atas rata-rata dengan memfasilitasi mereka dengan memberikan sebuah permasalahan baru terkait dengan materi. Mengingat salah satu kelebihan edmodo mampu menyediakan sebuah program pengayaan.
Pola ini dilakukan dalam pertemuan-pertemuan berikutnya. Pada akhir petemuan dosen dapat memberikan tugas via edmodo kepada mahasiswa. Dosen harus memberikan deskripsi yang jelas terkait dengan tugas on-line tersebut. Termasuk kesepakatan akan keterlambatan dari upload tugas ke edmodo. Tugas hendaknya bersifat analitis dan dikaitkan dengan hal-hal yang kontesktual, termasuk mengenai pendidikan nilai.    
    
7.    PENUTUP
Media e-learning yang baik salah satunya ditentukan oleh template dan fitur yang dimilikinya. Media ini dapat diibaratkan sebagai kelas maya yang akan dihadiri oleh peserta didik. Kelas ini akan menarik atau tidak pertama ditentukan oleh kenyamanan visual dari e-learning terkait. Unsur kemenarikan media menjadi kunci pertama untuk diminati oleh peserta didik. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa media memiliki fungsi untuk menarik perhatian peserta didik yang kurang memiliki minat belajar. Artinya bahwa media juga berperan untuk mengubah kondisi peserta didik dari tidak berminat belajar menjadi berminat belajar.
Materi perkuliahan tidak semuanya dapat di e-learningkan, materi yang dapat e-learningkan adalah materi yang tergolong sulit untuk dipahamai dan materi yang tergolong banyak. Kondisi ini memerlukan waktu pembelajaran yang lebih dari waktu yang tersedia di kelas. Disamping itu mahasiswa dalam hal ini memerlukan waktu lebih untuk bertanya terkait dengan kesulitan mereka memahami materi sementara untuk mahasiswa yang memiliki kecepatan belajar di atas rata-rata memerlukan sarana untuk bekembang lebih cepat. Permasalahan ini dapat diatasi dengan menggunakan media e-learning, karena media ini tidak terikat oleh ruang dan waktu, sehingga mahasisiwa dapat bertanya dan menerima pengayaan kapan pun dimanapun
Implementasi e-learning yang ideal untuk materi yang sulit seperti “Peristiwa 1965” adalah model mixed/blanded. Pertimbangannya adalah untuk mengurangi atau menghindari terlambatnya pendidikan nilai dalam proses pembelajaran. Sementara materi tersebut begitu syarat akan nilai.

DAFTAR PUSTAKA

Dewi Salma Prawradilaga, dkk. 2013. Mozaik Teknologi Pendidikan E-Learning. Jakarta: Kencana.
Empy Effendi. 2005. E-learning Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Andi Offset
Hamruni. 2012. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Insan Madani
Rusman. 2012. Seri Manajemen Sekolah Bermutu Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalitas Guru. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
________,et al., 2011. Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi Mengembangkan Profesionalitas Guru. Jakarta : Rajawali Perss.
Ruth Colvin Clark & Richard E. Mayer. 2008. E-Learning and the Science of Instruction:Proven Guidelines for Consumers and Designer of Multimedia Learning 2nd ed. USA: Pfeiffer
Sadiman et al., 2011. Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: Pustekom Dibud & PT Raja Grafindo Persada.
Smaldino, dkk. 2011. Instructional Technology & Media For Learning. Jakarta: Kencana
Sri Anitah, 2011. Media Pembelajaran. Surakarta : UNS Press.
Sukiman. 2012. Pengembangan Media Pembelajaran. Yogyakarta: Pedagogia.
William Horton. 2006. E-Learning by Design. San Fransico: Pfeiffer

Menggunakan atau menggutip isi atau bagian dari artikel ini wajib mencantumpakan nama penulis dan nama jurnal selayaknya aturan pengutipan dari Jurnal.