Oleh : Yulius Dwi Cahyono, M.Pd.
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Dimuat di Opini Tribun Jogja 30/09/2015
KEBOHONGAN, meskipun lari secepat kilat pada akhirnya
akan ketahuan juga.
Istilah ini kiranya turut memberi warna dalam Tragedi
Kemanusiaan tahun 1965 yang dikenal dengan istilah G30S, yang kita peringati
pada hari ini Rabu (30/9/2015).
Tidak henti-hentinya kontroversi dalam Peristiwa 1965
terus diperbincangkan dan didiskusikan dalam berbagai seminar, sebagai penanda
bahwa kebenaran tidak akan pernah berhenti untuk diperjuangkan.
Pertanyaannya apakah kita berani membuka hati untuk
menerima kebenaran di balik peristiwa G30S ?
Lima puluh tahun yang lalu, tepatnya pada pagi buta
tanggal 1 Oktober 1965, enam Perwira Tinggi Angkatan Darat, salah satunya
adalah Ahmad Yani, menjadi korban dalam suatu percobaan kudeta.
Menurut versi Orde Baru, Partai Komunis Indonesia (PKI)
adalah pihak yang paling bertangung jawab atas penculikan dan pembunuhan
tersebut.
Peristiwa ini bermula dari munculnya isu adanya
sekelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta untuk menjatuhkan Presiden
Sukarno.
PKI dan pasukannya dituduh menggerakan militer untuk
malakukan penculikan terhadap para perwira tersebut.
Di dalam ingatan kolektif masyarakat hingga kini masih
tertanam begitu kuat bahwa dalam peristiwa 1965, PKI melakukan
tindakan sadis dengan menculik, menyiksa dan membunuh para Jenderal.
Ingatan kolektif ini terpatri kuat dalam ingatan melalui
film dokumenter karya Arifin C Noer tahun 1984 dengan Judul “Pengkhianatan
G30S/PKI”.
Film ini selalu diputar pada masa Orde Baru setiap
tanggal 30 September malam hari dan diwajibkan untuk ditonton, bahkan oleh
siswa mulai dari tingkat SD.
Tidak dapat dipungkiri bahwa melalui film ini muncul
agitasi kebencian kepada segelintir pihak yang diberi label antagonis (PKI dan
Orang atau Kelompok yang dituduh sebagai simpatisan atau anggota PKI).
Pada masa pemerintahan Habibie kewajiban tayang film
tersebut dihentikan pada september 1998.
Kejangalan-kejanggalan dan kekritisan sejarawan kemudain
bermunculan setelah Orde Baru tumbang. Situasi ini memutar balikkan 360 derajat
sejarah G30S versi Orde Baru.
Film baru karya Jhosua Openheimer dengan Judul The Act of
Killing dan The Look of Silence, turut menjadi anti tesis dari sejarah G30S
versi Orde Baru.
Beredar dan diputarnya film ini sempat memicu aksi kekerasan
dari sekelompok masa antara lain di UIN Sunan Kalijaga pada 11 Maret 2015 dan
USD pada 25 Februari 2015.
Hal ini menandakan bahwa sebagian besar dari kita masih
belum memahami sejarah dan belum mampu berdamai dengan kebenaran sejarah.
Dalam penulisan sejarah baru peristiwa ini dimaknai
penggulingan Presiden Sukarno dengan jalan menyingkirkan kelompok atau orang
yang loyal kepada Sukarno.
Kedua film tersebut semakin membuka tabir gelap siapa
sebenarnya dalang di balik peristiwa ini, namun demikian bukan hal inilah yang
paling utama, terdapat hal lain yang jauh lebih besar yaitu sebuah peristiwa
genosida yang di luar batas perikemanusiaan melanda anak-anak bangsa pasca
1965.
Genosida terhadap jutaan nyawa anak bangsa ini jauh lebih
sadis dari kejahatan PKI yang digambarkan dalam film
“Pengkhianatan G30S/PKI”.
Melalui operasi penyingkiran PKI yang
terorganisir, banyak warga masyarakat (laki-laki atau perempuan) yang ditutuh PKI atau
dekat dengan PKI dieksekusi langsung, disiksa,
diperkosa, ditangkap dan ditahan untuk kemudian pada dini hari dieksekusi.
Proses peradilan seakan-akan tidak berlaku untuk mereka
yang menjadi korban pembantaian massal. Dimanakah hak mereka untuk mendapat
perlindungan hukum sebagai WNI ?
Ketika kita menutup mata terhadap kebenaran sejarah dan
selalu menghindari objektivitas sejarah, kita akan terkungkung dan jauh dari
rasa kemanusiaan dan keadilan.
Muncul sebuah pertanyaan: Pengkhianatan terhadap
Pancasila terjadi dalam peristiwa 1965 atau justru terjadi pasca1965? Sebuah
refleksi bahwa Peristiwa G30S secara tidak langsung telah membabat habis
pemimpin-pemimpin bangsa yang potensial setelah Sukarno.
Link Web Opini Tribun Jogja
Halaman 1 |
Halaman 2 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar