Oleh : Yulius Dwi Cahyono, M.Pd.
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Dimuat di
Opini Tribun Jogja tanggal 05/02/2016
SAUDARA-SAUDARA kita Tionghoa akan merayakan "Tahun Baru Imlek" 2567 Tahun Monyet Api,
pada hari Senin (8/2/2016).
Perayaan tahun baru yang dahulu tak bisa dirayakan secara
terbuka di era Orde Baru, kala masyarakat Tionghoa terkekang untuk tampil di
ruang publik sehingga identitas diri mereka pun terbenam.
Apa awal mulanya Indonesia bersikap diskriminatif
terhadap saudara-sarudar kita Tionghoa? Kita harus kembali melihat ulang
sejarah bangsa, pada masa Presiden Soekarno berkuasa (Orde Lama).
Ketika Republik Indonesia baru berdiri, Soekarno pada
tahun 1946 mengeluarkan penetapan pemerintah mengenai hari-hari raya umat
beragama No 2/OEM-1946.
Pada pasal 4 ditetapkan empat hari raya orang Tionghoa,
yaitu Tahun Baru Imlek, Hari Raya
Wafatnya Khonghucu, Ceng Beng, dan Hari Lahir Khonghucu. Hal ini menunjukkan
bahwa bangsa Indonesia konsisten dalam menghargai keberagaman dalam masyarakat.
Berbeda, ketika Presiden Soeharto berkuasa (Orde Baru). Pada
tahun1967, melalui Inpres No 14/1967 dilakukan pembatasan agama, kepercayaan
dan adat istiadat Cina.
Secara sistematis masyarakat Tionghoa menjadi
tereliminasi atas identitas dirinya.
Perayaan tradisi dan keagamaan masyarakat Tionghoa, mulai
dari Tahun Baru Imlek, Cap Go
Meh, Pehcun, tarian Barongsai dan Liong, dilarang dirayakan/dipertunjukkan di
ruang publik.
Tekanan semakin diperkuat melalui Lembaga Pembina Kesatuan
Bangsa (LPKB), yang menganjurkan keturunan Tionghoa melupakan dan tidak
menggunakan lagi nama Tionghoa, menikah dengan orang Indonesia pribumi asli,
menanggalkan dan menghilangkan agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa
(termasuk bahasa, kebiasaan, dan kebudayaan Tionghoa) dalam kehidupan
sehari-hari.
Muncul SE Mendagri No 477/74054 tahun 1978, yang berisi,
antara lain, pemerintah menolak mencatat perkawinan pemeluk agama Khonghucu.
Pemerintah juga menolak mencantumkan Khonghucu dalam
kolom agama di KTP. Lalu, melalui surat Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depag No
H/BA.00/29/1/1993 pemerintah melarang perayakan Imlek di Vihara dan Cetya. Imlek hanya boleh dirayakan secara tertutup
di dalam rumah.
Di era reformasi, udara segar bagi masyarakat Tionghoa
menampilkan ekspresi kultural dan religiusnya di ruang publik, tidak lepas dari
pera Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
melalui Keppres No 6/2000 tentang pencabutan Inpres No14/1967 tentang
Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa.
Tahun 2001, melalui Keputusan Menteri Agama No13/2001, Imlekditetapkan sebagai hari libur
nasional fakultatif. Baru pada masa Presiden Megawati,
melalui Keppres No 19/ 2002, Imlek menjadi hari libur nasional mulai
2003.
Semangat keberagaman ini semakin memperkokoh bangsa
selama kita mengamalkan visi dan misi para pendiri bangsa yang tercermin dalam
Pancasila. Harus
kita renungkan, dalam bingkai Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, dan
NKRI, keragaman budaya adalah kekayaan, kekuatan, potensi yang mampu menjunjung
tinggi harga diri Tanah Air tercinta, untuk menjadi pusat perhatian dunia,
dihargai dan disegani dunia. Xin Nian
Kuai Le.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar