Jumat, 26 Februari 2016

Imlek dan Politik Identitas Gus Dur

Oleh : Yulius Dwi Cahyono, M.Pd.
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah 
Universitas Sanata Dharma 
Yogyakarta

Dimuat di Wcana Harian Bernas 06/02/2016


      

      Tinggal beberapa hari lagi masyarkat Tionghoa akan merayakan “Tahun Baru Imlek” 2567 Tahun Monyet Api (08/02/2016). Beragam persiapan telah dilakukan mulai dari membuat Kue Keranjang, Mempersiapkan pernak pernik Imlek, Mencuci Patung Dewa dan tak kalah menariknya media sosial pun ikut mempersiapkan kemeriahan perayaan Tahun Baru Imlek. Seperti halnya yang dilakukan media sosial Twitter dengan membuat emoticon bernuansa Imlek, caranya mudah hanya dengan cara mengetik #imlek, maka emoticon tersebut akan keluar. Silahkan dicoba.
      Kemerdekaan dalam merayakan “Tahun Baru Imlek” 2567 sebagai wujud dari ekspresi kultural dan religius masyarakat Tionghoa, tidak dapat dipisahkan dari peranan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang mendobrak tirai besi pengekang eksistensi budaya Tionghoa di Indonesia.Dalam perjalanan sejarahnya kita ketahui bahwa pada masa Presiden Suharto (Orde Baru), segala hal yang berbau budaya dan ritus keagamaan masyarakat Tionghoa dilarang dirayakan di ruang publik. Pembatasan ini dilegalkan pada tahun 1967 melalui Inpres No.14/1967. Inti isinya diberlakukan pembatasan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Artinya segala bentuk perayaan tradisi dan keagamaan masyarakat Tionghoa: Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun, tarian Barongsai dan Liong dilarang dirayakan/dipertunjukkan secara terbuka.
      Siapa pengagasnya ? Idenya muncul dari seorang Tionghoa bernama Kristoforus Sindhunata alias Ong Tjong Hay. Ia yang mengusulkan kepada Suharto pelarangan total perayaan Imlek, adat-istiadat dan budaya Tionghoa. Suhartopun memanfaatkan ide tersebut tetapi bukan dalam bentuk pelarangan total melainkan pelarangan untuk perayaan di ruang publik. Imlek hanya boleh dirayakan di rumah dan di tempat yang tertutup. Sebuah upaya sistematis untuk meredupkan identitas diri masyarkat Tionghoa. Penekanan terhadap masyarakat Tionghoa ini juga tidak lepas dari ketakutan Suharto terkait kebenaran Peristiwa 1965.
      Pada masa pemerintahan Gus Dur aktualisasi dari semangat “Kebhinekaan Tunggal Ika” atas pengakuan budaya Tionghoa dilakukan dengan menerbitkan Keppres No. 6/2000 tentang pencabutan Inpres No.14/196. Pada tahun 2001 disusul dengan Keputusan Menteri Agama No.13/2001, Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional fakultatif. Dalam semangat menjunjung tinggi penerimaan akan keberagaman budaya, pada masa Presiden Megawati diterbitkan Keppres No.19 tahun 2002 yang memutuskan bahwa Imlek menjadi hari libur nasional mulai 2003. Politik Identitas Gus Dur dalam mendukung eksistensi masyarakat Tionghoa ini mendapatkan apresiasi dari masyarakat Tionghoa dengan menjadikan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa pada 10 Maret 2004.


Dasar pemikiran Gus Dur      Terkait dengan pluralitas masyarkat di negeri ini baik agama, budaya dan etnik, Gus Dur menyampaikan bahwa sikap yang paling tepat dalam menghadapi pluralitas adalah menempatakan setiap kelompok masyarakat setara dengan kelompok lain dalam hal apapun tanpa ada diskriminasi dan ketidakadilan. Menurut Gus Dur pluralisme ada dua yaitu pluralisme teologis dan sosial. Plularisme teologis, meyakini bahwa semua agama secara teologis sama. Ada satu Tuhan yang diyakini semua penganut agama. Hakikatnya Tuhan itu satu, penyebutannya saja yang berbeda semisal Allah menurut Islam dan Sang Hyang Widhi menurut Hindu. Pluralisme sosial menurut Gus Dur di dalamnya terdapat pesan agama yang pada dasarnya sama, yaitu pesan “kemanusiaan”. Semua agama mengajarkan tentang kemanusiaan: cinta kasih, persaudaraan, tolong menolong dsb. Konsep menjunjung tinggi kemanusiaan ini yang menjadi intinya.      Dalam kepribadiannya, Gus Dur adalah seorang Muslim yang mengutamakan nilai-nilai Universal Islam dibandingkan dengan formalisasi Islam yang bersifat legalitas-simbolis. Subtansi Islam diutamakan dengan pertimbangan nilai-nilai universal Islam tidak hanya milik orang Islam tetapi juga milik non muslim. Nilai-nilai itu seperti: Keadilan, Persamaan dan Demokrasi. Selain itu bagi Gus Dur sikap kritis menjadi sebuah keharusan untuk memberikan masukan bagi perbaikan kehidupan. Gus Dur tidak hanya berpedoman pada pemikiran Islam tradisional, tapi keilmuan Barat juga menjadi rujukan. Ia memandang bahwa keduanya saling melengkapi dalam memecahkan masalah umat, hukum Islampun akan menjadi selalu dinamis dan tetap relevan.
       Pemikiran-pemikiran inilah yang mendasari Gus Dur melakukan Politik Identitas Keharmonisan berbangsa dan bernegara. Prof. Dr. Syafii Maarif pernah mengatakan bahwa politik identitas bukan ancaman berarti ketika kita benar-benar menghayati dan mengamalkan visi dan misi para pendiri bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Presiden Sukarno pernah mengatakan Indonesia membutuhkan suksessor yang dewasa untuk menjadikan Indonesia tumbuh menjadi negara yang kuat. Menurut penulis Gus Dur pantas dikatakan sebagai “suksesor” dalam pemikiran dan tindakan. Bagaimana dengan generasi muda kita mampukah menjadi suksesor-sukesor baru ditengah maraknya isu Intoleransi? Gong Xi Fa Cai 2567.

Opini Bernas Oleh Yulius Dwi Cahyono, M.Pd.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar