Hermanu Joebagio
ABSTRACT
This article tries to analysis political strategy at the time of islamzation in 16th to
19th century.
This analysis use political theory,
it’s descending and ascending of power.
By supporting of the Saints,
it’s possible for Jin Bun (Raden Patah)
built the Kingdomof Demak, and by supporting not
only spread of islamization, but also reinforced political and social
structure. Implication of that Islam
was possible running
embraces in Demak society. Conversion from Hindu to Islam could be investigation by language symbolism, for instance, the title of Ngabdurrahman Sayidin Panatagama
Khalifatullah. Although the Kingdom
of Demak had been collapsed, but islamization processes moved toPajang and than to the Palace of Mataram. Furthermore Sultanate of Mataram,
Sultan Agung, introduceda new
strategy for spread of islamization in Java, that were: (1) palaceas center ofIslamization, and (2) Islam
center points of Javanese culture.
The new strategy were continued of political
strategy of the Saints. In the other side, Sultan Agung sup- ported the Saints to built pesantren
or madrasah (local boarding school) that had been
a grassroots political legitimation. And a grassroot power based on values of
solidarity or ashabiyyah.
Keywords: islamization, descending and ascending of power, ashabiyyah.
A. Pendahuluan
Pelayaran para Sayyid (keturunan Rasulullah)
menuju Kanton pada abad ke-7 diikuti ulama Sufisme. Mereka menyusuri Gujarat, Malabar, Coromandel, Se- lat Malaka, Vietnam,
hingga Kanton, dan dari Selat Malaka itu para Sayyid
dan Sufi memasuki Sumatra,
Kalimantan, dan Jawa.1 Secara perlahan
proses
1 Banyak sumber menyebutkan bahwa penyebaran agama Islam berasal
Gujarat, dan
menafikan Islam berasal dari Timur Tengah. Lihat Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur
islamisasi itu memasuki jantung Kerajaan
Majapahit, yang masa itu di bawah pemerintahan
Raja Brawijaya V. Haji Gan Engcu dan Sunan Ampel dalam “Se- marang Annals” bernama Bong Swi Hoo
adalah tokoh yang memberi hadiah seorang putri bangsawan Champa bernama Dewi Kiem kepada
Raja Brawijaya V sebagai
strategi mempercepat proses islamisasi di Majapahit.2 Bong Swi Hoo
adalah seorang cucu penguasa tertinggi di Champa.3 Perkawinan dengan
Dewi Kiem membuahkan tiga putra, yakni Swan Liong, Jin Bun (dikenal
sebagai Raden Patah), dan Kin San. Ketika Raden Patah mendirikan Kerajaan Islam
Demak, salah satu konsekuensinya membangun dunia politik agama disebut cuius regio eius et religio.
Dengan cara ini proses islamisasi tidak banyak hambatan,
karena pada
satu sisi raja beragama Islam, dan pada sisi lain adanya kecerdasan
Sufi dalam berdakwah sehingga
ajaran agama Islam lebih mudah diterima.4 Melalui cara itu ada tiga indikator yang
mempercepat akselerasi konversi, yaitu: (1) keter- bukaan masyarakat Majapahit
terhadap sesuatu yang baru, (2) sajian dakwah atraktif yang menimbulkan decak
kekaguman, dan (3) kecerdasan Sufi meman-
faatkan budaya lokal dalam media dakwah mereka.
Konstelasi politik Majapahit yang sedang menghadapi keruntuhan akibat
kehadiran Islam pada satu pihak, serta pada pihak lain lekatnya Islam dengan
Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Ja- karta: Prenada Media, 2004); cf. Teungku Sayyid
Deqy, Korpus Mapur dalam
Islamisasi Bangka (Yogyakarta:
Ombak, 2014).
2 Ketika Dinasti Ming (1368-1644) membentuk
perwakilan dagang di Kerajaan Majapa- hit, pemerintah Cina menunjuk Haji
Gan Engcu sebagai kepala perwakilan. Kedudukan Haji Gan Engcu di bawah
kekuasaan Bong Tak-Keng yang berkedudukan di Champa, dan Bong Tak-Keng maupun
Gan Engcu di bawah pengawasan Zheng He (Cheng Ho). Haji Gan Engcu berwenang untuk mengawasi
seluruh aktivitas politik dan ekonomi (dagang), serta mengawasi
komunitas imigran Tionghoa agar tetap mendukung kepentingan negeri mereka di
Tiongkok meskipun bertempat tinggal di Majapahit. Lihat Syuan-yuan Chiou,
“Contested Legacies of Chinese Muslims and the Appropriation of Zheng He’s
Muslim Images in Contemporary Indonesia”, dalam Ota Atsushi, Okamoto Masaaki,
and Ahmad Suaedy (eds.), Islam in
Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia (Jakarta: Wahid
Institue-CSEAS Kyoto University-CAPAS Nanyang, 2010), hal. 321-326.
3 Ibid, hal. 325-326;
cf. Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik
(Jakarta: Trans
Media, 2008), hal. 45-49
4 A.H. Johns, “Muslim Mystics and Historical Writing”, dalam
D.G.E. Hall (ed.) Histo- rians of South
East Asia (London: Oxford University Press, 1961), hal. 10-23.
dunia politik adalah implikasi relasi intens
antarulama dan aristokrat. Raden Patah yang dilahirkan dari keluarga Muslim
sangat berkepentingan untuk mendirikan Kerajaan Islam Demak. Berdirinya kerajaan merupakan primus in-
ter pares bagi kerajaan berikutnya. Simbol primus inter pares terlihat dari sisi
bahasa, dan simbol itu kemudian
ditransformasikan pada gelar kekuasaan raja, misalnya sebutan Ngabdurrahman Sayidin Panatagama
Khalifatullah.
Gelar kekuasaan menunjukkan
betapa besarnya kekuasaan raja. Bila gelar itu ditransformasikan dalam simbol
publik menunjukkan tumbuhnya dialek- tika struktur relasi antarindividu, rakyat
dan pemerintah. Sementara itu di- alektika ulama diletakan ditengah relasi
politik antara rakyat dan pemerintah. Model
ini pada satu sisi berperan
untuk melegitimasi kekuasaan, dan pada sisi lain menempatkan ulama dalam peran sebagai arbitrase konflik.
Struktur rela- sional ini dipersepsikan rakyat
menungkinkan tumbuhnya harapan
baru untuk membentuk sebuah
tatanan sosial baru.5
Dalam perkembangannya
terjadi ketimpangan relasi politik, karena pan- dangan elit bahwa agama
adalah alat politik.
Ketika pandangan diletakan pada alat politik, tentu akan timbul penyalahgunaan kekuasaan
untuk mendomes- tikasi kelompok oposisi yang berseberangan dengan kebijakan
pemerintah. Semakin tinggi domestikasi terhadap agama dan perangkatnya, semakin
tum- buhnya sinergi antara
kelompok oposisi dan ulama. Inilah
titik awal titik
temu yang saling membutuhkan antara oposisi dan ulama.6 Menjelang keruntuhan Majapahit, kondisi ini
dimanfaatkan Raden Patah untuk mendirikan Kerajaan Islam Demak. Relasi
antararistokrat dan ulama justru membentuk konfigurasi kesederajatan politik.
Persoalannya, mengapa kesederajatan politik dalam de- scending of power cepat
berakhir, dan mengapa dalam waktu bersamaan tum- buh ascending of power?
B. Politik Islam di Demak
Politik
adalah sebuah perjuangan meraih dan membentuk kekuasaan. Usaha meraih kekuasaan
dilandasi oleh ide atau gagasan
pemikiran agama. Meraih
5 Dale F. Eickelman
& James Piscatori,
Politik Muslim: Wacana Kekuasaan
dan Hegemoni dalam Masyarakat
Muslim (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), hal. 3-13.
6 H.J. de Graff & Th.G.Th.
Pigeud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan
dari Majapa- hit ke Mataram (Jakarta:
Grafiti Pers, 1985), hal. 63-72.
kekuasaan bisa simetris dan asimetris. Apabila
simetris implikasinya negara berbasis ideologi agama, sebaliknya bila asimetris
negara tidak menggunakan ideologi agama sebagai basis kebijakan politik. Karena
itu Islam dan politik sering dipahami dalam dua paradigm istilah, yaitu Islam
politik dan politik Islam. Politik Islam adalah praktik kenegaraan dengan
memanfaatkan Islam sebagai alat politik,
sedangkan Islam politik
adalah praktik kenegaraan berba- sis ideologi agama Islam.
Argumentasi Islam sebagai
alat politik, karena dalam
bingkai ajaran Islam terkandung nilai-nilai taqwa (loyalitas), asshabiyyah (soli- daritas), dan
semangat korsa yang berfungsi sebagai kekuatan
untuk memba- ngun kesatuan politik.7
Historiografi Indonesia
menjelaskan islamisasi merupakan suatu produk
interaksi simbiosis antarkelompok politik dan ulama karena antarmereka sa- ling membutuhkan. Ulama membutuhkan
elit untuk memberi izin memperlu- as dakwah keagamaan, dan elit politik
memanfaatkan ulama untuk legitimasi kekuasaan. Dengan dasar asumsi itu,
Raden Patah adalah elit politik
yang me- manfaatkan dakwah agama
sebagai basis kekuatan
politik. Sinergi antarmereka ulama dalam perspektif ilmu
politik disebut descending of power8.
Dengan demikian descending of power merupakan sistem
politik dipenga- ruhi oleh agama. Dalam sistem ini ulama berfungsi memberi
fatwa terhadap kebijakan raja, dan
fatwa politik itu digunakan untuk menilai kebijakan raja sejauhmana berdampak
terhadap instabilitas politik dan
keamanan. Ulama bisa meminta untuk membatalkan kebijakan raja apabila tidak
berkontribusi kepada rakyat. Sebaliknya, kebijakan didukung bila berfungsi
menjaga keutu- han negara, meskipun tidak pro rakyat. Ulama akan memastikan apakah kebi- jakan itu eksploitatif, atau sekadar kepentingan sepihak. Campur tangan ulama
dalam politikmenjadi transendensi politik Raden Patah, karena pada satu sisi
mempertimbangkan prinsip etika dan moral, pada sisi lain adalah legitimasi
politik dari
ulama dan basis massanya ulama.9
7 Ibn Khaldun, Muqaddimah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hal. 166-167;
cf. Faisal Is- mail, Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur (Yogyakarta:
LESFI, 2004), hal. 15-16.
8 Bryan S. Turner, Agama dan
Teori Sosial (Yogyakarta: Ircisod, 2006), hal. 306-307.
9 Yasraf A. Piliang,
Transpolitika: Dinamika
Politik di dalam Era Virtualitas (Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2006), hal. 1-9.
Transpolitika keagamaan
Raden Patah mengikuti model descending of
power, dan mengaplikasikan antara dunia kekuasaan dan dunia produksi untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan
dasar transpolitika itu, Raden
Patah memilih prinsip umur al-dunya-umur al-din (pemisahan urusan dunia dan agama). Realisasi prinsip itu justru
memicu tumbuhnya perekonomian Pantai Utara Jawa.10 Elit politik menyadari
bahwa tumpuan negara terletak pada: (1) moralitas agama yang diajarkan ulama,
(2) kekuatan perdagangan Muslim sebagai dinamika pertumbuhan ekonomi, dan (3)
kekuatan massa politik yang memberi dukungan terhadap
eksistensi kerajaan. Ketiga komponen itu sebagai
proses konsolidasi yang terintegrasi antara
dagang, kekuasaan, dan agama yang implikasinya tumbuhnya struktur masyarakat egalitarian dan kosmopolitan.11
Struktur masyarakat egalitarian dan kosmopolitan merupakan perspektif mulk, karena antara syariah dan siyasah
aqliyah (politik rasional) saling mencari modus
vivendi.12
Dalam descending of power, ulama wakil rakyat dalam penyaluran aspirasi,
dan dalam kasus Demak tidak dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan negara di bawah
bayang-bayang ulama. Problem utamanya aristokrat dan ulama ingin membangun
relasi politik, dan mengendalikan kekuasaan absolut raja. Im- plikasi negatif, descending of power adalah tidak membuka
ruang partisipatif. Penguasa Perancis Louis XIV bahkan mengucapkan l’etat c’est moi, sebuah per- wujudan
kekuasaan absolut.
Religiusitas ulama beserta arbitrasenya menjamin harmonisasi
diamika politik, karena itu ulama berada ditengah penyelesaian kebuntuan
politik. Re- ligiusitas peran ulama memicu perubahan
psikologi politik.13 Kedekatan ulama dan rakyat adalah konsekuensi
islamisasi, di samping ulama pengelola lem- baga masjid dan
pesantren. Peran arbitrase ulama
memang menjamin kesta- bilan politik dan keamanan pada awal dekade Kerajaan Islam Demak, tetapi
pada dekade berikutnya peran ulama mengalami
proses pasang surut. Dalam
10 Zainuddin Maliki, Agama
Priyayi: Makna Agama di Tangan Elite Penguasa
(Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004), hal. 50.
11 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan
Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES,
1987), hal. 119-121.
12 Ibid., hal. 129-138.
13 H.J. de. Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram:
Politik Ekspansi Sultan Agung (Jakarta: Pu-
staka Grafitipers, 1986), hal. 203-204.
perspektif politik kestabilan dan keamanan tercipta
karena adanya relasi-relasi yang mengesankan antarlembaga politik,
peran pedagang, dan partisipasi poli- tik masyarakat.14 Kala itu elemen-elemen politik yang terdiri
dari elit, ulama, rakyat dan pemerintahan berhasil
membentuk kesatuan politik Kerajaan De- mak.
Sistem descending of power di Kerajaan Islam Demak tidak berlangsung lama, karena terkoyak oleh instabilitas
politik. Ada dua faktor penyebab, Pertama,
besarnya intrik, provokasi, dan faksionalisme di lingkungan istana. Fenomena
ini akibat besarnya jumlah putera raja. Masing-masing berkepentingan meraih
kekuasaan. Pada sisi lain, aristokrat yang berseberangan dengan kebijakan raja distigma sebagai oposisi. Mereka
kemudian disantrikan untuk memperdalam ilmu agama Islam di pesantren
pilihan raja.15 Makna marjinalisasi itu justru
menguntungkan proses islamisasi. Penyantrian akan memacu tumbuhnya konflik antara aliran traditional Javanese mysctism dan orthodox legalistic Islam.16
Implikasi kasus penyantrian anak-pinak mereka pada abad ke-19
melancarkan gerakan protes berideologi Islam,17 dan gerakan itu merupakan embrio gerakan
kebangsaan abad ke-20.18
Kedua, di lingkaran
ulama timbul perdebatan tentang urgensi keterlibatan ulama dalam kegiatan politik
praktis di Kerajaan Demak. Salah satu ulama pe- nentang adalah Sjech Siti Jenar.19 Dia berpendapat ulama harus bisa memis-
ahkan antara kepentingan dunia dan agama. Siti Jenar khawatir “tangan suci ulama terbelit oleh kotoran
darah”. Inti dari pemikiran Sjech Siti Jenar terfokus
pada persoalan kesalehan personal, bukannya
kesalehan sosial yang dibutuh-
kan masyarakat. Pemikiran Sjech kemudian
dijadikan pedoman elit politik
14 Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan
(Jakarta: Rajawali Pers,
1982), hal. 15-27.
15 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, hal. 139-144.
16 S. Soebardi, “Santri-religious Elements as Reflected in the Book of Tjentini”, Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI), No. 127, 1971, hal. 349.
17 Vincent J.H. Houben,
Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870 (Yogya- karta: Bentang Budaya, 2002), hal. 437-452.
18 Sartono Kartodirdjo, Protest Movement
in Rural Java: A Study of Agrarian
Unrest in the
Nineteenth and Early
Twentieth Centuries (Kuala Lumpur:
Oxford University Press,
1978), hal.
210-213.
19 M.C. Ricklefs, Yogyakarta di bawah Sultan Mangkubumi1749-1792 (Yogyakarta: Mata
Bangsa, 2002), hal. 9-11.
untuk memutus rantai relasi politik dengan ulama, dan membangun
struktur politik baru disebut manunggaling
kawula gusti.
Sjech Siti Jenar menginginkan reposisi ulama berpijak
pada filsafat peren- nial (philosophia perennis). Dia menyarankan
ulama berpegang pada simbol ge- nerik Islam. Inti simbol itu adalah sikap
pasrah dan taqwa, serta menghayati kehadiranNya (omnipresent) dalam kehidupan sehari-hari.20 Perdebatan
antara Sjech Siti Jenar dan ulama dapat disimpulkan penulis bahwa hidup di alam
semesta secara objektif tidak hanya menempatkan diri pada persoalan-perso- alan
kesalehan personal, tetapi ulama harus bisa membangkitkan umat untuk menghadapi
tantangan dunia (kesalehan sosial). Melalui cara semacam itu masyarakat Islam
mudah diberdayakan.
Pemikiran Sjech
Siti Jenar dalam
perspektif ilmu politik
merupakan gagasan ascending
of power atau
umur al-dunya-umur al-din (pemisahan urusan dunia dan agama). Pemikiran Sjech identik dengan
sekularisme di abad modern, dan sekularisme merupakan
salah satu syarat tumbuhnya demokrasi politik. Pada sisi lain, pemikiran Sjech justru dipersepsikan terbalik oleh elit politik, mereka berpandangan bahwa pemisahan itu manifestasi
dari pemutlakan kekuasaan Illahiah.
Pembalikan pemikiran Sjech
Siti Jenar sangat jelas ketika Sultan Agung wafat. Amangkurat I dan Amangkurat
II berkuasa secara Illahiah. Mereka
me- marjinalkan ulama dengan dalih kongregasi politik. Marjinalisasi ulama me-
neguhkan kesediaan masyarakat desa berada di bawah bayang-bayang ulama.
Marjinalisasi dapat memicu konversi kongregasi, yakni dari agama ke politik,
karena para ulama dimungkinkan untuk membangun persepsi politik di ru- ang publik mereka.21 Konversi itu yang paling ditakuti oleh elit
politik, karena mendorong tumbuhnya pemikiran kuasa tandingan, bahkan bisa melemahkan kekuasaan Illahiah raja.
Elit aristokrat tidak sadar bahwa kongregasi politik
merupakan
esensi dari Islam.
20 Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis:
Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 101-104.
21 Perubahan menjadi kongregasi
politik berpijak pada suhal.y-side theory, dan bukan- nya demand-side theory. Eksistensi lembaga keagamaan adalah permintaan publik, begitu pula
dorongan terhadap ulama untuk
melakukan kongregasi politik. Lihat
Pippa Norris & Ronald Inglehart, Sekularisasi Ditinjau
Kembali: Agama dan Politik di Dunia Dewasa
Ini (Jakarta: Pustaka
Alvabet & Paramadina, 2009), hal. 8.
C. Kekerasan Politik
Perpindahan kerajaan dari kawasan pantai menuju
pedalaman Jawa Tengah (Surakarta-Yogyakarta) identik meninggalkan budaya
egalitarian dan kos- mopolitian. Mereka merubah
diri dari masyarakat pantai yang terbuka
menjadi masyarakat tertutup dengan
kehidupan agraris. Namun,
perpindahan itu tetap menjaga relasi politik antarraja dan
ulama. Bahkan relasi itu direproduksi Sul- tan
Agung dalam suatu strategi bahwa keraton sebagai
agen islamisasi di Jawa,
dan Islam wahana rekonsiliasi budaya Jawa.22
Arti reproduksi adalah, pertama menjadikan istana sebagai pusat
kajian ilmu agama Islam. Implikasinya reproduksi ini adalah Islam sebagai
kekuatan politik, sekaligus alat politik. Elit politik harus bersedia hidup
berdampingan dengan ulama di samping sebagai
alat legitimasi politik
dan moral.23 Kedua, dengan
legitimasi politik dan moral menunjukkan adanya pengakuan ulama terhadap
eksistensi kekuasaan Sultan Agung. Meski Sulatan Agung gagal da-
lam penyerbuan di Batavia, dan muncul kelompok oposisi, tetapi ulama tetap
memberi pengakuan dan memerankan sebagai
arbitrase konflik dengan kelom- pok oposisi. Ketiga,
sisi negatif reproduksi Islam yang dilakukan
Sultan Agung justru semakin
kokohnya sintesis sinkretik.24
Sepeninggal Sultan Agung
relasi politik antara raja dan ulama berakhir, meskipun dalam birokrasi
kerajaan masih dipertahankan reh-pengulon
(lem- baga kegamaan istana). Pembunuhan ratusan ulama dan santri di
alun-alun Pleret oleh Amangkurat
I menunjukkan kongregasi
politik terus berlangsung,
terutama ketika terjadi suksesi.25 Amangkurat I dipandang
tidak memiliki ka-
22 M.C. Ricklefs, “Islamising Java: The Long Shadow of Sultan
Agung”, Archipel, Vol. I, No. 56,
1998, hal. 469-482.
23 Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi (Yogyakarta: LKiS, 2004), hal. 55-58;
M.C. Ricklefs, The Seen and Unseen Worlds
in Java 1726-1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II (Honolulu: Allen & Unwin, and University
of Hawai’i Press, 1998), hal. xvii-xix.
24 Sintesis sinkretik konsekuensi bertahannya tradisi Hindu-Buddha di istana. Sintesis sinkretik adalah esensi budaya masyarakat, dan
realitas religius itu merupakan
warna kea- gamaan yang belum berjalan secara linear. Warna Islam
melewati transisi secara berkelan- jutan. Lihat Julian Millie, Splashed by the Saint: Ritual Reading
and Islamic Sanctity
in West Java (Leiden: KITLV Press, 2009), hal. 8.
25 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia
Abad ke-19 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), hal. 30.
pabilitas, bahkan moral pun tidak memadai, dan
hanya Pangeran Alit dipan- dang ulama berkapabilitas. Persepsi ulama ini mode
kanalisasi politik berba- sis publik (plebiscitary),
dan mode kanalisasi politik itu
pernah dilakukan orde baru dalam menghadapi pemilihan umum.26
Represi politik terhadap
ulama memaksanya menyingkir dan tinggal di pedesaan jauh dari pusat istana. Di
tempat baru itu ulama memerankan seba- gai cultural
broker, memberdayakan masyarakat, dan membangun komunitas epistemik.27 Peran cultural broker itu ulama menjadi elit agama sekaligus
elit politik. Peran ini simbolisasi pencanangan diri sebagai oposisi,
dan akan mem- bela rakyat bila terrepresi secara
terus menerus. Pada dasarnya represi politik akan memacu tumbuhnya polarisasi
kekuatan ulama, yakni: (1) ulama non- birokrasi dan guru agama yang berada di
pedesaan, dan ulama birokrasi ber- tahan di istana.
Sejatinya ulama non-birokrasi dan guru agama yang paling berhasil meng- ubah mengonversi dan merubah
persepsi kosmologi Muslim. Semula kos- mologi
diletakan pada kesaktian raja, dan setelah
konversi menempatkan pada kosmologi Makkah.28 Pengalihan pusat kosmologi
adalah kesadaran bahwa kekuasaan hakiki berada di tangan Allah Swt. Muslim sadar bahwa eksistensi diri mereka terletak pada kemampuan mengolah
self-reliance, self-sufficiency, self defence, dan pengembangan kreativitas pribadi.29 Keempat faktor itu adalah
senjata yang paling jitu dalam menghadapi represi,
subordinasi, dan contain-
ment policy.30
26 Dodi Ambardi dalam
laporan utama Tempo
menguraikan kepolosan blusukan
Jokowi sebagai mode kanalisasi politik (plebiscitary) yang berimbas pada capaian meteorik
di pentas politik nasional. Kanalisasi politik juga pernah dilakukan orde baru. Lihat
Tempo, Edisi 5-11
Agustus 2013, hal. 42-43.
27 Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (Bandung: Mizan, 2005),
hal. 11-58; Fachry
Ali, “Masa Tak Berwarga Negara:
Gerakan- gerakan protes di Jawa Abad Ke-19”, dalam Asep Gunawan (ed.), Artikulasi Islam Kultural: Dari Tahapan
Moral ke Periode Sejarah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 237-261.
28 Matin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Yogyakarta: Gading Pub- lishing,
2012), hal. 3-4.
29 Kamdani (peny.), Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis
Humanisme Universal (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), hal. 15.
30 Contaiment policy merupakan kebijakan raja untuk mengurung
ulama dengan mem- berikan tanah perdikan untuk
mendirikan lembaga masjid
dan pesantren. Pengurungan ini merupakan bentuk pengendalian ulama dan basis massa untuk tidak memerankan
diri
Represi terhadap Muslim
terekam dalam Manuskrip Jawa, baik dalam Ba- bad Pakepung, Serat Centhini, maupun Serat Cebolek. Represi
menyebar di seluruh komponen lembaga keagamaan, dan
realitas ini menciptakan segregasi sosial maupun segregasi politik. Segregasi
sosial maupun politik justru dapat mem- perlemah ketahanan masyarakat berkaitan
dengan prinsip pemberdayaan, disebut civic
engagement dan political engagement.31 Pada masa
kolonial, Muslim yang tinggal di sekitar pesantren dan dipandang bukan
warganegara Hindia Belanda, dan persepsi
pejabat kolonial ini merupakan bentuk segregasi sosial.32
Segregasi sebuah fenomena benturan antara
penganut ortodoksi dan sinkre- tik. Pemerintah kolonial tidak suka tumbuh
ortodoksi di Hindia Belanda. Me- luasnya ortodoksi diartikan
sebagai pemupukan watak melawan.33 Penguasa
tidak sadar bahwa watak itu timbul akibat penguasa mengingkari kewajiban untuk melindungi, menyejahterkan, dan memberi jaminan
keamanan terhadap masyarakat.34 Interpretasi segregatif merupakan perilaku kolonialis yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Agama Islam menjunjung
keluhuran hidup yang secara implisit terkan- dung dalam universalisme Islam, yakni hifdz ad-dīn, hifdz al-‘aql, hifdz al-māl, hifdz an-nafs, dan hifdz an-nasl. Universalisme menempatkan
Muslim sebagai katalisator perdamaian dan harmoni terhadap
alam semesta. Universalisme itu adalah prinsip rahmatan lil alamin, dan dengan demikian
tidak dibenarkan adanya relasi sosial dan politik yang hegemonik.
Refleksi katalisator adalah
kewajiban bagi Muslim untuk menjamin, melindungi, dan menyejahterakan tanpa
memandang suku, agama, ras, dan aliran.
Represi dan
stigma menyebabkan tumbuhnya masyarakat subaltern.
Subal-
tern merujuk pada kelompok
sosial yang terrepresi dan termarjinalisasi secara
sebagai oposisi.
Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, hal. 29-
30.
31 Civic engagement adalah bangunan
tumbuhnya relasi anrtarwarganegara, dan political engagement bangunan tumbuhnya
sifat kritis terhadap kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintantah. Lihat
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam,
Budaya Demokrasi, dan Partisi- pasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 26-29.
32 C.A.O. van Nieuwenhuijse, Aspect of Islam in Post-Colonial Indonesia (The Hague & Bandung: W. van Hoeve, 1958), hal.
1-31.
33 Abdurrahman Wahid, “Martin
van Bruinessen dan Pencariannya: Kata Pengantar”,
dalam Martin van Bruinessen, Kitab
Kuning: Pesantren dan Tarekat, hal. xi-xv.
34 Ibid.
politik. Stigma menunjukkan tidak akan memberi
ruang publik, dan hal itu se-
lalu dilakukan secara kekerasan.35 Hilangnya ruang publik berakibat
semakin tidak berdayanya
mereka berhadapan dengan kekuasaan. Oleh karena itu ke- salehan sosial wajib melekat
dalam diri ulama
dan elit politik.
Kesalehan sosial berfungsi sebagai
peneguhan pemberdayaan serta pengendalian nafsu berkua-
sa. Elit harus sadar pentingnya kemajuan dan persatuan, taqaddum wa al-ittiẖad, mengingat kemajuan dan bersatu adalah idealisasi sebuah
kesejahteraan.
Rendahnya taqaddum wa al-ittiẖad berdampak lunturnya
pemberdayaan ekonomi dan politik.
Refleksi sejarah menunjukkan kekuasaan Illahiah tidak per- nah bertanggungjawab terhadap
kebijakan publik yang diberlakukan.36 Banyak
pejabat melakukan tindakan a-patriotik, berkarakter ganda sebagai aparatur
pemerintah, dan banyak
di antara merka
yang tidak mampu
melaksanakan tata kelola administrasi pemerintahan di daerah maupun di pusat.37 Mereka me- mungut dan memanipulasi pajak untuk kepentingan pribadi, sekaligus mereka sebagai penjaga ketertiban umum dan
berkuasa atas nama peradilan. Karak- ter aparatur semacam
itu dipastikan sering
melakukan tindak kekerasan,38 dan mereka
pejabat nomadism dan schizophrenia.39
Nomadism merujuk lemahnya jati diri dan
identitas elit, sedangkan schizo-
phrenia merujuk pada keterbelahan diri pribadi, akibat kegalauan identitas, nilai,
dan
kesalahan memaknai politik kekuasaan. Nomadism
dan schizophrenia implika- si
dari tingginya hasrat berkuasa. Dan,
hasrat berkuasa memupuk keuntungan pribadi tanpa aspirasi maupun idealisasi menunjukkan wajah dan jiwa immoral.
Akhirnya, mereka tidak dapat membedakan
antara res-privata dan res-publica.
35 I Ngurah Suryawan, Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di Bali Utara
(Jakarta: Predana Media,
2010), hal. 20-21.
36 Kekuasaan Illahiah adalah hasrat. Hasrat manusia adalah refleksi antara rasa kurang (lack), pemenuhan kebutuhan (need), dan keingian (want). Hasrat manusia dalam paradig- ma
Islam diseleksi melalui proses pembatasan, penekanan dan pengendalian. Hanya
has- rat tertentu yang dapat dipenuhi, dan manusia yang berhasrat melampaui
batas kewajaran identik dengan menafikan
otoritas Allah swt. Lihat “Kala Hasrat Menggoda:
Catatan dari Editor”, dalam
Alfathri Adlin (ed.), Menggeledah Hasrat:
Sebuah Pendekatan Multi Perspektif (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hal.
xvi-xviii.
37 Willem Remmelink, Perang Cina dan Runtuhnya
Negara Jawa 1725-1743
(Yogyakarta: Jendela, 2002), hal. 3-30.
38 Ibid.
39 Yasraf A. Piliang, Transpolitika,
hal. 155-157.
D. Kekerasan dalam Guratan
Pujangga
1. Serat Iskandar
Serat Iskandar salah satu
manuskrip Jawa mengungkap sifat elit politik
yang “ilang sirnaning manembah”, dan dimaknai sebagai hilangnya jati
diri. Penelusuran Goenawan Mohamad terhadap ilang sirnaning
manembah
pada
abad
XVIII
dan XIX teramati dalam Serat Wedatama,
sebuah karya sastra Mangkunegara IV.40 Analisis Goenawan Mohamad
terhadap Serat Wedatama selaras dengan pemikiran Kanjeng Ratu Mas Balitar dalam Serat Iskandar. Serat Iskandar ditulis Kanjeng Ratu Mas Balitar (Permaisuri Paku
Buwana I) memandang elit politik tidak mempunyai keberanian menghadapi kompeni.
Mereka menjadi peragu dalam menentukan sikap dan tindakan politik, meskipun
kekuatan kompeni saat itu sangat lemah.41
Pesan moral Serat Iskandar menjadi semu, karena satria Jawa lebih senang
menikmati kebesaran, dan bersanding dengan
kompeni. Mereka terjerumus pandangan bahwa: (1) aristokrat berhak meraih
kekuasaan, dan kekuasaan re- levan dengan kepentingan individu; (2) aristokrat
tidak pernah memikirkan negara dalam kondisi rapuh, bahkan antarkomponen politik di kerajaan
terpi- sah. Gejala politik itu mendorong mereka mengutamakan kepentingan
intrin- sik, dan tidak melihat kepentingan negara atau rakyat;
dan (3) pengawasan raja
terhadap putera-puteranya sangat lemah.
Di masa lalu satria
adalah pusaka, dan dalam perkembangannya satria bu- kan
milik arisokrat, tetapi
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pinggiran yang jauh dari pusat kekuasaan. Pelopor transformasi satria
justru berada dita- ngan ulama, dan dia memerankan diri sebagai
cultural brokers bagi masyarakat
pedesaan. Bila Serat Iskandar dihubungkan
dengan pemikiran Sayyid Hossein Nasr bermakna sebagai
alat penyadaran, recollection dan
reawakening.42 Kanjeng
Ratu Mas Balitar menolak
tunduk kepada kompeni,
dan dia mengkritik Paku
40 Goenawan Mohamad, “Paradigma Pengging: Kata Pengantar”, dalam
Nancy K. Flo- rida, Menyurat yang Silam
Menggurat yang Menjelang: Sejarah sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial, terj. Revianto B. Santosa & Nancy
K. Florida (Yogyakarta: Bentang
Budaya, 2003), hal. xiv-xvi.
41 Willem Remmelink, Perang
Cina dan Runtuhnya Negara Jawa, hal. 151-218.
42 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2002), hal. 202.
Buwana II dan elit lainnya yang tunduk kepada
penguasa kolonial. Ketertun- dukan
itu menyebabkan hilangnya etika dan moral politik.
2. Serat Cabolek
Serat Cabolek
adalah karya sastra yang
mengungkap gerakan pembangkangan agama. Timbul gerakan akibat krisis ekonomi,
politik, maupun sosial. Krisis mendorong individu untuk menjelajahi dimensi
spiritualitas “baru”. Dimensi spiritualitas benar bila diletakan pada filosofi
perennial (philosophia perennis).
Melalui filosofi perennial terpahami
betapa besar dan kompleksitas agama. Agama yang dipeluk bisa menunjukkan sifat yang relatif,
terbatas, parsial, dan tidak lengkap.43 Agama
berbentuk dan bersubstansi tidak sekadar skriptualis, tetapi juga
kontekstualis. Substansi agama hadir dalam kehidupan individu berbentuk
terbatas. Dengan demikian agama bisa bersifat universal, sekaligus bersifat
partikular. Selanjutnya bentuk menjadi relatif, meskipun kandungan substansial bersifat
mutlak. Penempatan filsafat dalam memahami agama adalah untuk
menghindari pandangan sempit,
sehingga agama berperan
se-
bagai pemberdaya dan pembebas seluruh persoalan kehidupan
sosial.
Serat Cabolek dideskripsikan sebagai perdebatan antara Ketib Anom Kudus
dengan Haji Mutamakin.44 Perdebatan antara aliran Mistik Islam dan ortodoksi itu tidak mungkin bisa
dipertemukan. Ketib Anom Kudus berdebat di seputar persoalan Kitab Rama,
Arjunawiwaha, dan Bima Suci. Dan, perdebatan terse- but tidak menyentuh
ujung-pangkalnya, karena perbedaan aliran keagamaan. Haji Mutamakin
berpegang pada al-Quran dan al-Hadits, yang tentunya tidak mungkin bisa dikonversikan dengan
kitab acuan Ketib Anom Kudus.
Amangkurat IV tidak membela
Ketib AnomKudus karena terburu wafat sebelum memutuskan. Paku Buwana II
memutuskan win-win solution. Dia sa-
dar perdebatan itu tidak ada manfaatnya. Selayaknya Haji Mutamakin
tidak menjawab, karena kitab Rama, Arjunawiwaha, dan Bima Suci adalah
kitab epos yang menampilkan heroisme tokoh, meskipun di dalamnya terkandung
filsafat kehidupan.
43 Budhy Munawar-Rachman, Islam
Pluralis, hal. 102-117.
44 S. Soebardi, Serat Cabolek:
Kuasa, Agama, dan Pembebasan (Bandung: Yayasan Nuansa
Cendekia, 2004), hal. 58-63.
3. Babad Pakepung
Babad Pakepung dalam pupuh I dhandhanggula, pupuh
II asmaradana, dan pupuh III sinom tersirat bahwa Paku Buwana IV mengangkat beberapa ulama karisma- tik sebagai penasihat politik
dan penasehat agama. Interpretasi terhadap
babad ini bisa beraneka ragam. Kehadiran
ulama karismatik dalam birokrasi
politik kerajaan menimbulkan kekhawatiran Mangkunegara, Sultan
Yogyakarta, dan pemerintah Belanda. Paku Buwana IV dituduh oleh mereka
melakukan peng- galangan kekuatan
politik untuk menyatukan Mataram.
Pemikiran Paku Buwana IV,
kerajaan yang rapuh akibat palihan nagari
membutuhkan konsolidasi politik
melalui pembangunan ikatan politik dengan ulama beserta basis pesantren.
Melalui konsolidasi itu diharapkan tumbuh ke- seimbangan politik antarkerajaan palihan nagari. Pemikiran equilibrium politik ini justru
ditafsirkan berbeda. Akhirnya Hamengku Buwana I, Mangkunegara I, dan pemerintah Belanda
bersinergi mendesak Paku Buwana IV untuk meng- hukum para ulama penasehat
politik raja. Mereka adalah Kiai Panengah, Wira- digda, Nursaleh, Bahman, R. Santri,
dan Kandhuruan.
Konflik antarelit
di atas dapat dimaknai, pertama, sebuah konflik aliran an-
tara traditional Javanese mysticism (Islam
sinkretik) dan orthodox legalistic Islam. Konflik ini sudah berlangsung cukup lama sejak zaman Kerajaan
Islam De- mak. Pada sisi lain, pemerintah Belanda
memilih melestarikan aliran
traditional Javanese mysticism,
dan dengan begitu Islam tetap terserak menjadi kekuatan kecil yang tidak berdaya
berhadapan dengan bangsa kolonial. Kedua, kekuatan ortodoksi justru berpihak kepada
Paku Buwana IV. Sementara itu Hameng-
ku Buwana I dan Mangkunegara I memandang keberadaan ulama di istana
menimbulkan diskonsiliasi dan disharmoni
antaraliran. Islam sinkretik lebih diterima, karena bingkai kepercayaan Hindu
dan Budha.
Konflik politik
di Vorstenlanden sepanjang abad ke-19 menyeret
Islam pada pusaran konflik. Paku Buwana IV lebih suka menggunakan simbol Islam un- tuk
menyelesaikan persoalan konflik,
sedangkan lawannya memilih
safety first untuk kepentingan pribadi.
Sejatinya, konflik bermakna positif
dan negatif. Makna positif,
Islam secara normatif-doktrinal tidak memasung kreativitas pengembangan doktrin
dan ajaran Islam,
sejauh tidak bertentangan dengan ke- tentuan
dasar agama Islam. Namun demikian, kreativitas itu tergantung ting- kat
kemampuan berpikir Muslim.
Sisi negatifnya adalah
timbul stigma the others, liyan (bahasa Jawa). Stigma ini
merupakan konsep pemisahan, yang memacu segregasi, dan realitas seg- regatif mendorong
timbulnya benturan sosial dan politik.45 Pemikiran segre- gasi merupakan akibat dari padatnya
hierarkhi yang memperlebar pelapisan- pelapisan sosial, dan pada sisi lain
segregasi justru memperlemah paradigma inklusivisme.
Struktur liyan memang dikehendaki oleh pemerintah Belanda untuk mem-
perlemah Islam. Tindakan yang dilakukan Belanda
adalah untuk melindungi modal usaha yang sudah tertanam
di berbagai industri
perkebunan, eksplorasi
(perminyakan dan pertambangan), serta industri pabrikan.46 Implikasi
penera- pan struktur liyan dalam
kehidupan sosial adalah masyarakat hanya bisa ber- tumpu pada hierarkhi sosial
politik maupun sosial budaya. Kedua kutub itu selalu berlawanan, dan sering
menghasilkan gerakan radikalisme keagamaan.
Sepanjang abad XIX politik
di Vorstenlanden bagai benang
kusut akibat
tidak berdayanya aristokrat berhadapan dengan
pemerintah Belanda. Kondisi ini
mendorong Abd al-Samad al-Palimbani mengirim surat dari Mekkah kepa- da tiga
raja Jawa (Paku Buwana III, Hamengku Buwana I, dan Mangkunegara I) untuk
melancarkan perang sabil.47 Perang sabil simbolisme sikap anti Barat. Bahasa politik
Abd al-Samad al-Palimbani merujuk pada simbol-simbol meng- gugah perlawanan, akibat sikap hegemonik Barat
mengeksploitasi sumber ekonomi pribumi.48 Eksploitasi itu memperlemah subsistensi ekonomi, bahkan
menjadi faktor dominan disintegrasi geo-politik.
Surat Abd al-Samad
al-Palimbani
tonggak
sejarah
yang
membuktikan
adanya intervensi dari luar yang meminta raja-raja berperang sabil. Permintaan surat itu telah membangun
kesadaran para keturunan aristokrat yang disantri bahwa
Muslim Jawa adalah bagian dari masyarakat Islam Dunia, dan perang
sabil yang disarankan adalah sebuah dukungan dari masyarakat Islam Dunia yang tidak menghendaki proses eksploitasi ekonomi
atau eksploitasi sumber
45 Joost Cote & Loes Westerbeek (eds.), Recalling the Indies: Kebudayaan Kolonial dan Iden- titas Poskolonial (Yogyakarta:
Syarikat Indonesia, 2004), hal. 23.
46 Robert van Niel, Munculnya
Elit Modern Indonesia
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hal.
110-117.
47 M.C. Ricklefs, Yogyakarta
di bawah Sultan Mangkubumi1749-1792, hal. 212.
48 Immanuel Wallerstein, The Modern World-System: Capitalist Agriculture and the Origins
of European World-Economy in the Sixteenth Century (New York: Academic
Press, 1976).
alam yang lebih dari Bumi Nusantara yang
mayoritas beragama Islam. Pada sisi lain, sepulang
Muslim dari menunaikan ibadah haji pada abad XIX, mereka
menyalurkan pandangan revolusioner kepada tokoh masyarakat di Hindia Belanda.
Pandangan revolusioner menjadi bahan evaluasi terhadap eksistensi kolonialisme Belanda.
Para haji menumbuhkan kesadaran pentingnya hak me-
nentukan nasib sendiri, dan politik
Islam tidak hanya berfungsi sebagai
kekua- tan dinamik, tetapi juga sebagai kekuatan pemersatu bangsa.
E. Menuju Persatuan Gerakan Politik
Bila pada abad ke-16 hingga abad ke-17 descending of power menjadi tumpuan
kekuatan politik oleh Raden Patah dan Sultan Agung, dan kemudian ditinggal- kan pewaris tahta untuk mendalami sekularisme, tetapi realitasnya tidak
meru- bah pandangan menuju ascending of power untuk membangun
negara bangsa.49
Pemikiran ascending
of power baru muncul pada
awal abad ke-20. Ascending
of power adalah representasi atmosfir demokrasi yang diperjuangkan kaum nasio-
nalis hingga tercapai kemerdekaan Indonesia. Seluruh komponen politik, raja,
aristokrat, ulama, intelektual, dan rakyat yang berpandangan protagonis ikut
berjuang meraih kemerdekaan.50
Ascending of power dapat berjalan bila para politisi menempatkan
diri seba-
gai agen pemberdayaan, baik berkaitan dengan
civic engagement maupun politi-
cal engagement. Kedua faktor itu sangat berperan untuk mereformasi struktur
sosial. Dalam ascending of power basis
massa Islam menjadi tumpuan kekuatan pergerakan, tetapi tidak menjadi kekuatan
formalisme atau ideologis. Islam adalah kekuatan substansial yang memberi
sumbangan terhadap etika dan moral politik pada peran kenegaraan.51 Kekuatan substansial di atas adalah sebuah warisan sejarah, lebih lanjut Fealy mengemukakan: ”in Malaysia,
Isla-
49 Bryan S. Turner,
Agama dan Teori Sosial, hal. 306-307; lihat Soemarsaid Moertono,
Neg- ara dan Usaha Bina Negara:
Studi tentang Mataram II, Abad XVI Sampai XIX,
terj. YOI (Jakarta: YOI, 1985), hal. 33-41
50 Sartono Kartodirdjo, “Berkembang dan Runtuhnya Aristokrasi Tradisional Jawa”, da- lam Hans Antlov & Sven Cederroth,
Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus,
Pemerintahan Oto- riter (Jakarta: YOI, 2001), hal. 37.
51 Zuly Qodir, Sosiologi Politik
Islam: Konstestasi Islam Politik dan Demokrasi di Indonesia
(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012).
misation has
resulted in greater Islamism and legalism; in Indonesia it has had more
pluralitic and liberal manifestations”.52
Dasar pemikiran Fealy di atas tidak mengherankan bila awal abad XX
muncul aristokrat
protagonis sebagai agen pemberdayaan
tanpa memandang perspektif etnisitas dan etnoreligius. Dia adalah Sayidin
Malikul Kusno yang tidak butuh bahasa dan simbol politik, tetapi tindakan yang
dilakukan untuk melepaskan belenggu sistem diskriminasi ekonomi, politik, dan
sosial. Peran Sayidin Malikul Kusno
(Paku Buwana X) dapat dianalisis melalui teori Antony Giddens53 dan Rom Harre.54 Dengan
kesadaran protagonis itu, dia mengingin- kan Muslim berdaya, karena itu
merelakan hampir seluruh fasilitas dan finan- sial yang dimiliki untuk
pemberdayaan masyarakat.
Terdapat 27 lembaga
yang difungsikan
sebagai pemberdayaan
Muslim,
dan mampu menumbuhkan dinamika kehidupan Muslim. Di
antara 27 lemba- ga
adalah: (1) Mendirikan Madrasah Mamba’ul
Ulum, HIS Kasatryan, dan HIS
Parmadi Putri dan Taman
Kanak-Kanak Parmadi Siwi; (2) Rijksstudiefonds un- tuk
abdi
dalem berbakat; (3) Bank Bandhalumaksa; (4) Renovasi pasar Pasar Gedhe
Hardjonegoro untuk
penguatan ekonomi; (5)
Rumah Sakit Kadipala
dan Apotik Pantihusada; (6) Pembangunan Jembatan
Jurug untuk akses
ekonomi tiga kabu- paten; (7) Pemindahkan Paheman Radya Pustaka di Jalan Slamet Riyadi sebagai
tempat diskusi budaya; (8) Taman Hiburan Sriwedari; (9) Pembangunan Rumah Wangkoeng untuk memberi keterampilan buruh migran; (10) Memberi dukungan
kepada SI dan BO; dan (11) Mendirikan
lembaga pedalangan dan pertukangan.
52 Bernhard Platzdasch, “Introduction”, in Bernhard Platzdasch & Johan Saravanamuttu (eds.), Religion Diversity in Muslim-mayority States
in Southeast Asia (Singapore: ISEAS,
2014), hal. 5.
53 Teori strukturasi Anthony
Giddens, peran agen sangat kuat dalam mereproduksi kondisi sosial yang
ditampilkan melalui kebijakan publik. Ada tiga faktor utma yang di- indikasikan
Giddens: (I) memiliki jangkauan pengetahuan, (2) merelakan fasilitas yang
dimiliki untuk digunakan rakyat, dan (3) tindakan politik yang dilakukan
bertumpu pada tujuan tertentu demi kemaslahatan rakyat. Lihat Anthony Giddens, The Constitution of Soci- ety: Teori
Strukturasi untuk Analisis Sosial (Pasuruan: Pedati, 2004), hal. 3-17.
54 Rom Harre menyebutkan dalam merekonstruksi tindakan
agen perlu kiranya
mem- pertanyakan: (1) sejauh mana gagasan
agen dapat mendorong
perubahan sosial, (2) apakah
gagasan agen merupakan prinsip baru yang dapat ditempatkan dalam suasana baru, (3) ba- gaimana cara mewujudkan. Lihat
Christopher Lloyd, Explanation in Social
History (Oxford, UK: Basil Blackwell, 1986), hal. 268-269
Dalam teori Thorstein
Veblen, pemberdayaan pendidikan untuk pening- katan kecerdasan dan mampu
menghadapi perubahan sosial.
Dengan pember- dayaan
pendidikan diharapkan dapat menekan kesenjangan sosial antara the
leisured class (kelas menengah) dan kelas bawah. Menguatnya kelas menengah
berfungsi sebagai kohesi sosial, dan kohesi itu dimaknai sebagai kemampuan
dalam mengatasi perubahan
sosial.55 Perubahan terjadi bila individu terbiasa berpikir secara formal. Kebiasaan
itu bisa menjadi lahan kontemplasi dan re- fleksi terhadap relaitas sosial ekonomi dan politik.
Di Jawa ada tiga kota yang menunjukkan kemandirian dan keswasem- badaan yang dikelola oleh masyarakat. Kota itu
Surakarta, Yogyakarta dan Pekalongan. Tiga kota itu meupakan segitiga kekuatan
ekonomi yang meno- pang pergerakan kebangsaan.56 Di Surakarta
elit modern maupun intelektual
tumbuh sebagai kelompok sosial baru, sehingga keduanya adalah kelompok sosial sekaligus kelompok politik yang menguasai cakrawala kehidupan ko-
ta.57
Kelompok masyarakat yang
mandiri dan swasembada di tiga kota seba- gian besar Muslim dan pendukung
organisasi Islam, SI, sebuah organisasi ber- sifat kota, reformis, dan dinamis.58 Kaum intelektual dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki bergabung dalam organisasi itu baik
secara individu maupun kelompok. Dalam organisasi politik
itu mereka menciptakan struktur interaksi,
karena itu pergerakan lokal di Surakarta menciptakan kekuatan politik nasio-
nal menghadapi hegemoni kolonial Belanda.
F. Penutup
Lekatnya
Islam dan politik dalam perspektif descending
of power maupun as- cending of power sekadar
alat politik. Islam memiliki solidaritas tinggi, dan so- lidaritas bisa berubah
menjadi kekuatan politik ketika terrepresi secara terus menerus. Ketika kekuasaan politik
sukses diraih timbul faksionalisme antar-
55 Selo Sumardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta
(Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1981), hal. 312-313.
56 Kuntowijoyo, “Muslim Kelas
Menengah Indonesia dalam
Mencari Identitas”, Prisma,
No. 11, November 1980, hal. 35.
57 Ibid., hal. 36.
58 Ibid., hal. 37.
politisi. Karena itu, politik Islam selalu diselimuti faksi dan friksi,
dan mudah dihempas oleh
kekuatan politik lain.
Relasi ulama
dan elit politik
dalam bingkai descending of power tidak mung- kin berlangsung lama karena elit tidak menghendaki kekuasaan Illahiah terbagi.
Faktor utamanya ulama memainkan dan memelihara kongregasi politik. Peran
kongregasi itu dipersepsikan sebagai tandingan, akibatnya mereka direpresi
raja, dan menyingkir dari pusat kekuasaan. Ulama berperani sebagai cultural broker bagi masyarakat
pedesaan.
Realitas sejarah menunjukkan
Islam memang lekat dengan dunia politik, tetapi hampir seluruh ulama di
Nusantara menolak Islam sebagai ideologi ne- gara. Pergerakan abad XX
menampilkan kesadaran dan menuntut hidup ber- sama dalam suasana demokrasi.
Demokrasi adalah wujud ascending of power yang menuntut tersedianya:
(1) Pembagian kekuasaan, (2) Konstitusi yang melindungi etnisitas dan
religiositas tanpa dibalut oleh diskrimisasi sosial, (3) Ideologi yang
disepakati pendiri negara dipraktikkan sebagai perlindungan terhadap etnisitas
dan religiositas. Menjadi naif, bila bersikukuh mengubah ideologi Pancasila
dengan formalisme Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik.
1987.Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia.Jakarta: LP3ES.
Adlin, Alfathri.2006. Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif,
Yogyakarta: Jalasutra.
Antlov, Hans & Sven Cederroth (eds.).
2001. Kepemimpinan Jawa: Perintah
Halus, Pemerintahan Otoriter. Jakarta: YOI.
Atsushi,Ota, Okamoto
Masaaki, and Ahmad Suaedy (eds.). 2010. Islam in Con- tention: Rethinking Islam and State
in Indonesia, Jakarta: Wahid Institue- CSEAS Kyoto University-CAPAS
Nanyang.
Azra, Azyumardi.2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia. Jakarta:
Prena- da Media.
Azra, Azyumardi.2002. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan
Aktor Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Bruinessen, Martin van. 2012. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Yogyakarta: Gading Publising.
Cote, Joost &
Loes Westerbeek (eds.).
2004. Recalling the Indies:
Kebudayaan Kolo- nial dan
Identitas Poskolonial. Yogyakarta: Syarikat Indonesia.
Deqy, Teungku Sayyid.
2014. Korpus Mapur dalam
Islamisasi Bangka. Yogyakarta: Ombak.
Eickelman, Dale F. & James
Piscatori. 1998. Politik Muslim:
Wacana Kekuasaan dan Hegemoni
dalam Masyarakat Muslim. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Florida, Nancy K.. 2003. Menyurat yang Silam Menggurat
yang Menjelang: Sejarah sebagai Nubuat di Jawa Masa
Kolonial. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Giddens, Anthony. 2004. The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Ana- lisis Sosial.
Pasuruan: Pedati.
Graaf, H.J. de. 1986. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung.
Jakarta: Pustaka
Grafitipers.
Graff, H.J. de & Th. Pigeud. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari
Majapahit ke Mataram. Jakarta:
Grafiti Pers.
Gunawan, Asep (ed.). 2004. Artikulasi Islam Kultural: Dari Tahapan Moral ke Pe- riode Sejarah. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Houben, Vincent
J.H.. 2002. Keraton dan Kompeni: Surakarta
dan Yogyakarta 1830-
1870. Yogyakarta: Bentang
Budaya.
Johns, A.H..1961. “Muslim Mystics and Historical Writing”,
dalam D.G.E. Hall
(ed.) Historians
of South East Asia. London: Oxford University Press. Kamdani (peny.).
2007. Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di
Tengah Krisis
Humanisme Universal. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Kartodirdjo, Sartono. 1978. Protest Movement in Rural Java: A Study of Agrarian
Unrest in the Nineteenth and Early Twentieth Centuries. Kuala
Lumpur: Oxford University Press.
Khaldun, Ibn. 1986. Muqaddimah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Kuntowijoyo. 1980. “Muslim
Kelas Menengah Indonesia
dalam Mencari Identi- tas”. Prisma, No. 11, November 1980.
Latif, Yudi. 2005.
Inteligensia Muslim
dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim In- donesia Abad ke-20. Bandung:
Mizan.
Lloyd, Christopher. 1986. Explanation in Social History. Oxford, UK: Basil Black- well.
Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Mas’ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual
Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi.
Yogyakarta: LKiS.
Millie, Julian. 2009.
Splashed by the Saint:
Ritual Reading and Islamic Sanctity
in
West Java. Leiden: KITLV Press.
Mujani, Saiful. 2007. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi
Politik di
Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Munawar-Rachman, Budhy. 2004. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beri-
man. Jakarta: Sri Gunting, Raja
Grafindo Persada.
Niel, Robert
van. 1984. Munculnya Elit Modern
Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya. Nieuwenhuijse,
C.A.O. van.1958. Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia.
The Hague and
Bandung: W. van Hoeve.
Norris, Pippa
& Ronald Inglehart. 2009. Sekularisasi Ditinjau Kembali: Agama
dan Politik di Dunia Dewasa Ini. Tangerang: Alvabet & Yayasan
Wakaf Pa- ramadina.
Piliang, Yasraf A. 2006. Transpolitika: Dinamika
Politik di dalam Era Virtualitas.
Yogyakarta dan Bandung:
Jalasutra.
Qodir, Zuly. 2012. Sosiologi
Politik Islam: Konstestasi Islam Politik dan Demokrasi di
Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Remmelink, Willem. 2002. Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa
1725-1743, Yogyakarta: Jendela.
Ricklefs, M.C.. 1998. “Islamising Java: The Long Shadow of Sultan Agung”,
Ar- chipel, Vol. I, No. 56,
1998.
Ricklefs, M.C..1998. The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749: History, Litera- ture and Islam in the Court of Pakubuwana II, Honolulu: Allen & Unwin, and University of Hawai’Press.
Ricklefs, M.C..2002. Yogyakarta di bawah Sultan
Mangkubumi1749-1792. Yogya- karta: Mata Bangsa.
Sanit, Arbi. 1982.
Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik
dan
Pembangunan. Jakarta: Rajawali Pers.
Setiono, Benny G. 2008. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta:
Trans Media.
Soebardi, S.. 1971. “Santri-religious Elements as Reflected in the Book of Tjen-
tini”, Bijdragen tot de Taal-, Land-
en Volkenkunde (BKI), No. 127.
Soebardi, S.. 2004. Serat Cabolek:
Kuasa, Agama, Pembebasan. Bandung: Yayasan
Nuansa Cendekia.
Soemarsaid Moertono. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara: Studi tentang
Mat- aram II, Abad XVI Sampai XIX, terj. YOI.Jakarta: YOI.
Steenbrink, Karel A.. 1984. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19.
Jakarta: Bulan Bintang.
Sumardjan, Selo.
1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Suryawan, I Ngurah. 2010. Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di
Bali Utara. Jakarta: Predana Media.
Tempo, Edisi 5 – 11 Agustus 2013.
Turner, Bryan S..2006. Agama dan Teori Sosial. Yogyakarta:
Ircisod.
Wallerstein, Immanuel. 1976. The
Modern World-System: Capitalist Agriculture and the Origins of European World-Economy in the Sixteenth Century. New
York: Academic Press.
Sumber : Jurnal Millah Vol. XII, No. 3, Agustus 2013
Link Download : journal.uii.ac.id/index.php/Millah/article/view/4075/3629
Sumber : Jurnal Millah Vol. XII, No. 3, Agustus 2013
Link Download : journal.uii.ac.id/index.php/Millah/article/view/4075/3629
Tidak ada komentar:
Posting Komentar