Oleh : Prof. Dr. Hermanu Joebagio Guru Besar Sejarah Islam UNS
Prof. Dr. Hermanu Joebagio |
“Etnis Cina berjasa besar dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Ini karena justru di masa lalu sosok ‘Islam nusantara’ banyak sekali diwarnai dengan budaya Cina. Fakta ini yang tak boleh diabaikan,’’ kata Hermanu ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa 1 Maet 2016.
Menurut Hermanu, kepada publik juga harus dimengerti mengenai pola penyebaran Islam ketika masuk ke sebuah tempat. Hal itu adalah ketika ajaran ini menyebar di sebuah wilayah, ajaran Islam dalam banyak sisi kemudian menyerap budaya lokal. Setelah terserap, kemudian budaya itu menjadi budaya baru yang berwajah Islam.
“Jadi, sebelum sampai ke Indonesia, ajaran Islam juga sempat meluas di wilayah Kanton dan Campa. Setelah terserap, maka muncul Islam dengan corak atau berwajah budaya yang baru. Nah, situasi ini kemudian beralih ke Indonesia ketika Islam melalui jasa para pedagang yang juga penganut tarekat itu ke tiba di nusantara,’’ ujarnya.
Jejak Nyata Profil Wali Songo, Baju Koko, Hingga Laksamana Ceng Ho
Hermanu menegaskan, jejak pengaruh budaya Cina dalam penyebaran Islam di nusantara beberapa di antaranya adalah terlihat pada pemakaian baju koko menjadi “baju Muslim” Indonesia. Selain itu, dalam soal penyebaran agama Islam juga tak bisa disepelekan peran panglima perang Kekaisaran Cina, yakni Laksamana Ceng Ho.
‘’Harus diakui baju Muslim ala Indonesia adalah baju koko yang dulu dipakai para pedagang Cina Muslim ke Indonesia. Fakta itu jelas dan hidup nyata sampai sekarang,’’ ujar Hermanu menegaskan.
Fakta penting lain mengenai pengaruh etnis Cina dalam penyebaran Islam di nusantara, lanjut Hermanu, adalah bila melihat sosok yang dikenal publik dengan sebutan “Wali Songo”. Sebagian bahkan ada yang menyebut semuanya memiliki darah Cina. Paling tidak mereka adalah orang-orang yang dahulu tinggal di kerajaan Campa dan Kanton (sebagian kini menjadi wilayah Vietnam). Banyak warga Muslim di daerah itu pergi meninggalkan tempat itu setelah wilayah itu tertimpa tragedi genosida pada abad ke-12 dan 13 Masehi.
‘’Wali yang berdarah Cina itu, misalnya Sunan Giri, Sunan Muria, dan Sunan Ampel. Bahkan, Sunan Ampel itu anak panglima perang kerajaan Campa,’’ katanya.
Dan, seiring tragedi genosida tersebut, para penganut Muslim dari wilayah sekitar Campa dan Kanton kemudian lari menyebar ke banyak wilayah. Sebagain lari ke Filipina selatan (kini dikenal dengan sebutan bangsa Moro), sebagian lari ke semenanjung Malaka (kini Malaysia), dan sebagaian lainnya lari ke Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.
‘’Khusus yang sampai ke wilayah nusantara, mereka pun kemudian membentuk warna atau budaya Islam yang baru. Maka, terbentuklah atau muncullah sosok wajah Muslim ala nusantara yang berwajah Arab, Cina, dan Melayu. Jadi, lagi-lagi tradisi etnis Cina Islam di masa lalu berbaur dengan tardisi Islam di nusantara yang datang dari Timur Tengah dan tradisi yang ada di masyarakat lokal,’’ ungkap Hermanu.
Asal Usul Stigma Kepada Etnis Cina
Lalu, kapan asal usul munculnya stigma negatif terhadap etnis Cina? Ditanya soal ini, Hermanu menjawab hal itu terjadi semenjak munculnya tragedi pembantain entnis ini pada awal abad ke-18 ( pada 9 Oktober 1740), yang dikenal dengan sebutan “Pemberonatakan Cina” di Batavia atau “Geger Pacinan” di Surakarta.
Saat itu, di Batavia muncul aksi pembersihan orang Cina oleh pihak VOC yang mengakibatkan sekitar 10.000 orang Cina terbunuh. Akibat pembantaian itu, sebagain warga entis Cina di Batavia lari ke Jawa Tengah (Surakarta). Di situ, mereka kemudian melawan Raja Paku Buwono II yang saat itu didukung VOC.
Para pelarian ini kemudian berhasil mendaulat seorang cucu Raja Mataram Amangkurat III (Raden Mas Garendi) naik takhta dengan menyandang gelar Amangkurat V. Namun, publik mengenalnya dengan sebutan “Sunan Kuning”. Sayangnya, masa pemerintahan Raden Mas Garendi ini tak lama, hanya sekitar satu tahun karena perlawanan mereka berhasil diredam.
“Nah, akibat situasi ini, sosok etnis Cina kemudian berubah tak lagi seharum zaman Ceng Ho. Dulu etnis Cina ini datang ke nusantara sebagai pedagang. Namun, secara berangsur-angsur berubah akibat tindakan (kebijakan) penjajah Belanda (VOC) yang malah mendatangkan pekerja asal Cina. Para ‘pendatang baru’ ini oleh pemerintah kolonial dipekerjakan sebagai ‘mediator’ atau jembatan bagi kelompok ekonomi kapitalis, seperti pemungut pajak, pemungut tol, penjual candu, dan lainnya,’’ kata Hermanu.
Akibat diperankan sebagai kelompok perantara kaum kapitalis itu, etnis Cina pun kemudian secara terus-menerus berada di tengah segala macam persoalan sosial, ekonomi, dan politik. Bahkan, kerap mereka berada dalam pusaran konflik yang terjadi antara pribumi dan kaum penjajah.
“Maka, kemudian muncullah stigma negatif terhadap etnis Cina ini, meskipun pada masa-masa sebelumnya (misalnya masa Laksamana Ceng Ho) punya peran atau gambaran yang sangat positif. Perlakuan negatif oleh VOC ini kemudian dilanjutkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Maka, lestarilah stigma buruk itu sampai kini. Padahal, sebenarnya tidak selalu demikian,’’ kata Hermanu.
Meski Kadang Pahit, Ariflah Melihat Sejarah
Meski kerap mendapat stigma negatif, semenjak dulu sampai kini posisi dan peran etnis Cina sangat penting artinya. Bahkan, Hermanu secara tegas mengatakan bahwa tanpa mereka, ekonomi Hindia Belanda dan juga Indonesia masa kini tak akan bisa berjalan dengan baik.
“Jadi, itulah kenyataannya. Tak hanya dalam bidang ekonomi, dalam penyebaran agama Islam di nusantara, peran etnis Cina itu besar. Mudah-mudahan ini dipahami supaya bisa memilah-milah fakta sejarah dengan baik. Dan, di sinilah perlunya kejujuran dalam mengungkapkan masa lalu. Yang paling penting kita belajar masa lalu dengan kearifan, meski kadang menyakitkan,’’ kata Hermanu.
Sumber : https://www.satuislam.org/humaniora/mozaik-nusantara/peran-etnis-cina-sebarkan-islam-di-nusantara-menurut-guru-besar-uns-solo/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar