Selasa, 26 April 2016

Wawancara DN Aidit: "PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila"


Wawancara Aidit dengan Solichin Salam ini koleksi Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Arsip ini telah terbuka untuk publik.
SIKAP PKI mengenai Pancasila, terutama sila pertama, kerap dituding mendua menurut lawan-lawan politiknya. Banyak kejadian yang jadi dalih, dari penolakan ide negara Islam hingga tuduhan dalam pidato tahun 1964 Aidit mengatakan bila sosialisme Indonesia tercapai, Pancasila tidak lagi dibutuhkan sebagai filsafat pemersatu. Pada akhirnya Aidit lebih sering menekankan pernyataan Sukarno bahwa Pancasila merupakan alat pemersatu. Pada 1964, PKI juga menerbitkan buku berjudul Aidit Membela Pantja Sila.
Wartawan Solichin Salam memanfaatkan kesempatan mewawancarai DN Aidit, ketua CC PKI, untuk menanyakan banyak hal. Tapi tampak jelas bahwa dia mencoba mengorek pandangan Aidit mengenai agama dan Pancasila. Hasil wawancara itu dimuat di majalah Pembina pada 12 Agustus 1964.
Berikut petikan wawancaranya.

Benarkah PKI menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia? Bagaimana pendapat Saudara mengenai sila Ketuhanan Yang Maha Esa?

PKI menerima Pancasila sebagai keseluruhan. Hanya dengan menerima Pancasila sebagai keseluruhan, Pancasila dapat berfungsi sebagai alat pemersatu. PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila. Bagi PKI, semua sila sama pentingnya. Kami menerima sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rangka Pancasila sebagai satu-kesatuan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan kenyataan bahwa jumlah terbanyak dari bangsa Indonesia menganut agama yang monoteis (bertuhan satu). Sebagaimana dikatakan oleh Presiden Sukarno dalam buku Tjamkan Pantja Sila, “pada garis besarnya, grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud.. bangsa Indonesia.. percaya kepada Tuhan” di samping “Ada juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan...” Sebagaimana juga Bung Karno, kaum komunis Indonesia juga sependapat bahwa ada golongan agama yang tidak percaya kepada Tuhan sebagaimana ditegaskan Presiden Sukarno dalam buku tersebut di atas sebagai berikut: “Agama Budha tidak mengenal begrip Tuhan... Budha berkata tidak ada, tidak perlu engkau mohon-mohon, cukup engkau bersihkan engkau punya kalbu daripada nafsu dan dia sebut delapan nafsu... dengan sendirinya engkau masuk di dalam surga...”.
Dengan menerima sila Ketuhanan berarti di Indonesia tidak boleh ada propaganda anti-agama, tetapi juga tidak boleh ada paksaan beragama. Paksaan beragama bertentangan dengan sila Kedaulatan Rakyat. Juga bertentangan dengan sila Kebangsaan, Kemanusiaan, dan Keadilan Sosial. Orang Indonesia yang tidak atau belum beragama, ia tetap bangsa Indonesia, tetap manusia yang harus diperlakukan secara adil dalam masyarakat. Tentang ini dengan tegas dikatakan oleh Presiden Sukarno bahwa “ada perbedaan yang tegas antara keperluan negara sebagai ‘negara’ dan ‘urusan agama’.”

Apakah benar ajaran Marxisme tidak mengakui adanya Tuhan, serta berpendapat bahwa agama adalah candu bagi rakyat?

Marxisme adalah ilmu dan salah satu bagiannya ialah Materialisme Historis yang menjelaskan hukum-hukum perkembangan masyarakat dan juga akar-akar sosial dari agama. Materialisme Historis menjelaskan secara ilmiah mengapa ada orang-orang yang memeluk agama. Kami berpendapat, agama yang dianut masing-masing orang adalah masalah pribadi. Karena PKI berdasarkan Marxisme, dan karena itu memahami dengan baik akar-akar sosial dari agama, maka anggota-anggota PKI menghormati hak setiap orang untuk memeluk agama. Marxisme sebagai ilmu, sama seperti ilmu-ilmu lainnya, tidak menyoalkan apakah individu atau seseorang beragama atau tidak.
Dalam sejarah manusia, ada bukti bahwa agama memainkan peranan revolusioner. Misalnya agama Nasrani. Di zaman perbudakan, golongan budak yang beragama Nasrani melakukan perlawanan terhadap kaum pemillik budak, dan agama Nasrani bisa membangkitkan massa budak. Juga dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, partai-partai politik yang beraliran agama aktif dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Misalnya Sarikat Islam. Dan bagi PKI yang mendasarkan diri pada Marxisme, adalah sepenuhnya sesuai dengan Marxisme untuk bekerjasama dengan partai-partai agama yang revolusioner, baik dulu maupun sekarang.
Jadi, apakah agama itu candu bagi rakyat atau tidak harus kita lihat secara kongkrit. Jika agama digunakan untuk memperkuat kolonialisme, misalnya memperkuat kedudukan neo-kolonialisme Amerika Serikat atau memperkuat kedudukan neo-kolonialisme “Malaysia”, maka agama betul sebagai candu untuk rakyat. Tetapi jika agama digunakan untuk menghantam kolonialisme, neo-kolonialisme, feodalisme dan kapitalisme, maka hanya orang gila sajalah yang mengatakan bahwa agama adalah candu bagi rakyat.

Apakah PKI cukup sadar terhadap kenyataan bahwa sebagian terbesar rakyat Indonesia memeluk agama Islam? 

Kami cukup sadar. Karena itulah diperlukan Pancasila dan faktor “A” (Agama) dalam Nasakom. Kami bukan hanya menyetujui gagasan Nasakom melainkan juga sebagai unsur “Kom” mengadakan kerjasama dengan partai-partai, organisasi, serta perseorangan yang mewakili unsur “A” demi persatuan nasional dan perkembangan revolusi Indonesia.

Apakah PKI pro agama ataukah terang-terangan anti-agama? 

PKI adalah partai politik. Benar apa yang Saudara katakan bahwa banyak anggota PKI memeluk agama. Saya dapat pastikan, di dalam PKI terdapat lebih banyak orang yang menganut agama Islam daripada di dalam suatu partai Islam yang kecil. Tetapi, hubungan anggota PKI yang beragama dengan Tuhannya tidak bisa diwakili CC PKI, sebagaimana halnya Dewan Partai dari partai-partai politik yang berdasarkan agama tidak bisa mewakili anggota-anggotanya dalam hubungan dengan Tuhan. Menurut Anggaran Dasar PKI, PKI tidak melarang anggotanya memeluk suatu agama asal saja anggota-anggota PKI itu menjalankan program dan politik PKI yang melawan imperialisme dan feodalisme dan bertujuan membentuk masyarakat tanpa kelas dan tanpa exploitation de l’homme par l’homme.

Berbedakah pembangunan masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila dengan ajaran-ajaran Marxisme? 

Kita sekarang berada dalam tahap pertama revolusi, yaitu tahap nasional-demokratis, belum dalam tahap kedua, yaitu tahap sosialis. Apakah berbeda atau tidak pembangunan masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila dengan yang berdasarkan Marxisme-Leninisme, hal ini akan kita ketahui kalau kita sudah sampai pada tahap kedua nanti. Tetapi karena pembangunan masyarakat sosialis berdasarkan Pancasila adalah pembangunan masyarakat tanpa exploitation de l’homme par l’homme, masyarakat adil dan makmur, maka sejak sekarang bisa saya katakan bahwa pembangunan masyarakat demikian sesuai dengan tujuan Marxisme.

Bagaimana pendapat Saudara mengenai agama Islam, apakah ajaran-ajarannya progresif revolusioner ataukah sudah out of date? Organisasi-organisasi Islam manakah yang progresif revolusioner?

Out of date atau tidak, hal ini tergantung pada revolusionerkah atau tidak. Jika tidak revolusioner, maka ia adalah out of date. Juga partai komunis, seandainya ia tidak revolusioner, maka ia juga out of date, yang berarti pada hakekatnya ia bukan partai komunis sekalipun namanya partai komunis. Mengenai organisasi Islam mana yang progresif revolusioner, saya tidak bisa menjadi hakim dan memutuskannya. Hal ini tergantung pada tindak-tanduk organisasi-organisasi Islam itu sendiri.

Sumber / Dikutib dari Historia

Imam Aziz: Tidak Pernah Ada Perintah dari Kiai NU Untuk Bunuh Warga PKI

Dikutip dari Kompas  



JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Bidang Kebudayaan dan Aubungan antar Umat Beragama PBNU, Imam Aziz, menampik teori bahwa telah terjadi konflik horizontal antara warga Nahdlatul Ulama dengan warga Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menyebabkan terjadinya peristiwa pembunuhan massal sekitar tahun 1960-an.
Imam mengatakan bahwa saat itu warga NU sama sekali tidak memiliki rencana untuk melakukan penumpasan terhadap warga PKI, apalagi membunuh atas perintah Kiai.
Menurut dia, pembunuhan massal terhadap warga PKI terjadi karena adanya rantai komando dari aparat keamanan kemudian merekrut dengan paksa orang-orang dari beberapa organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah.
"Saya dan generasi muda NU pernah melakukan penelusuran terkait Tragedi 1965. Saya coba melawan teori bahwa pembunuhan massal juga dilakukan oleh warga NU atas perintah Kiai," ujar Imam saat menghadiri Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Selasa (19/4/2016).

Lebih lanjut, Imam menceritakan, sekitar tahun 2000, Syarikat Nasional yang terdiri dari generasi-generasi muda NU melakukan penelitian di 35 kabupaten di pulau Jawa dan Bali.
Mereka mewawancarai korban eks tahanan politik '65 dan juga kalangan warga NU. Dari penelusuran tersebut ditemukan fakta-fakta baru yang bisa digunakan sebagai pijakan untuk mengungkap kebenaran.
Menurut penuturan Imam, ada seorang Kiai yang mengatakan kepada warga NU agar tidak bangga dengan tragedi 1965. Saat diwawancarai, Kiai itu mengaku dipaksa ikut menumpas PKI oleh pihak militer.

"Saat itu Kiai yang diwawancarai aktif di gerakan Anshor. Dia disuruh datang ke kantor militer. Dipaksa memakai seragam serupa militer, kemudian diberi pilihan, dibunuh atau membunuh PKI," ungkapnya.
Temuan lain berhasil didapatkan oleh Syarikat Nasional saat menemui salah seorang Kiai sebuah pondok Pesantren di Tuban.
Kiai tersebut, kata Imam, melarang para santrinya keluar malam karena tidak mau ada satu orang santri pun yang terlibat dalam upaya penumpasan PKI tanpa sebab yang jelas.

"Kiai itu punya prinsip, membunuh satu orang sama dengan membunuh semua orang. Saat itu dia malah memberikan perlindungan kepada orang yang akan ditangkap," kata Imam.
Selain menemui warga NU, Syarikat Nasional juga menemui eks tahanan Pulau Buru. Dari semua eks tapol yang mereka temui, seluruhnya mengaku bahwa sebelum tahun 1965 tidak pernah terjadi konflik horizontal yang berarti dengan warga NU.