Kamis, 26 Februari 2015

Kaum lntelektual Harus Jadi Model Generasi Muda


HINGGA hari ini pemberitaan di media massa masih diwarnai pro kontra Komjen Budi Gunawan yang ditunda pelantikannya sebagai Kepala Kepolisian Rl. Berbagai pendapat muncul di media begitu bebasnya menyikapi hal ini. Sungguh berbeda dengan era Orde Baru. Setiap terdapat persoalan kebanyakan para pengamat politik dan para pakar hanya terdiam membisu dan yang terdengar adalah berita positif semu yang dibalut dengan bahasa yang santun dalam pemberitaannya. Mungkin para pembaca masih ingat di era Orde Baru berkuasa tidak ada yang berani menyebut Presiden Soeharto hanya dengan sebutan "Soeharto" tanpa embel-embel "Presiden" atau  "Bapak Presiden". lni juga berlaku bagi para pejabat tinggi lainnya di masa itu. Embel-embel ini memang disadari betul oleh kebanyakan kalangan di masa itu bukan untuk menunjukkan rasa hormat, tetapi lebih pada permasalahan untuk menghormati dan menunjukkan betapa kuatnya kekuasaan pada waktu itu. Pasca Orde Baru atau sering disebut dengan era Reformasi, menjadi era yang begitu bebas dan secara tidak sadar tidak terkendali. Banyak (tidak semua) para pengamat politik dan pra pakar yang sudah melupakan kesantunan dalam berbahasa hingga kini.
Di media televisi mereka berbicara dengan rnudah dan ringannya ketika menyebut nama sesorang entah yang memiliki kedudukan atau tidak semisal Presiden Jokowi hanya disebut Jokowi. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Poernama alias Ahok hanya disebut Ahok. Komjen Pol Budi Gunawan hanya disebut Budi Gunawan. Jika dilihat dari sejarahnya bangsa ini terkenal dengan kepribadiannya yang penuh dengan sopan santun. Dalam perkara ini sebenarnya kita telah turut melupakan dan membenamkan kepribadian bangsa kita dalam menghargai dan menghormati sesorang.
Kebiasaan untuk memanggil seseorang di khalayak ramai hanya dengan menyebutkan namanya saja bukanlah merupakan kepribadian bangsa ini, ltu adalah budaya barat yang terbawa secara tidak sadar dan perlu untuk dikritisi. Bangsa ini perlu berdiri dengan kepribadiannya sendiri bukan dengan mengkopi begitu saja kepribadian bangsa lain. Hal ini sungguh memprihatinkan karena seakan-akan kita tidak percaya diri dengan kepribadian dan budaya bangsa kita. Apa yang telah diucapkan dan diungkapkan oleh para pengamat politik dan para pakar tentunya didengar generasi muda kita dan dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran. Dengan demikian ketika kaum intelektual ini memberikan sebuah contoh yang tidak benar maka contoh yang tidak benar tersebut yang akan dianggap benar. Dengan bahasa yang lebih simpel kaum intelektual telah mengajarkan hal yang tidak santun. Jika permasalahan ini tidak disadari dan disikapi sama halnya kita telah menciptakan generasi muda yang berpotensi untuk tidak mudah menghargai dan menghormati orang lain. Penyebutan nama tanpa embel-embel (Presiden/Bpk/lbu/Sdr) ini sebenarnya adalah hal yang sangat sederhana. Meski demikian dari hal yang sederhana ini justru karakter generasi muda dan bangsa ini dibangun dan dibentuk dengan kuat.
Alangkah baiknya jika kita jauh lebih kritis sebagai bagian dari warga negara lndonesia untuk secara bersama melakukan kontrol dan perbaikan dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga pendidikan karekter yang diagung-agungkan dalam pendidikan di lndonesia tidak hanya menjadi sebuah idealisme tanpa contoh. Kaum intelektual juga manusia yang tidak luput dari kelemahan. Semoga hal ini dapat menjadi penggelitik hati yang dapat mengubah Indonesia menjadi lebih baik sebagai bangsa yang dikenal dengan budaya sopan santun dan ramah tamahnya.

Oleh : Yulius Dwi Cahyono, M.Pd.
Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Tulisan ini dimuat di Opini Tribun Jogja, 20 Januari 2015, Halaman 1-11. 
26/02/2015 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar