HINGGA hari ini pemberitaan
di media massa masih diwarnai pro kontra Komjen Budi Gunawan yang ditunda
pelantikannya sebagai Kepala Kepolisian Rl. Berbagai pendapat muncul di media
begitu bebasnya menyikapi hal ini. Sungguh berbeda dengan era Orde Baru. Setiap
terdapat persoalan kebanyakan para pengamat politik dan para pakar hanya terdiam
membisu dan yang terdengar adalah berita positif semu yang dibalut dengan
bahasa yang santun dalam pemberitaannya. Mungkin para pembaca masih ingat di
era Orde Baru berkuasa tidak ada yang berani menyebut Presiden Soeharto hanya
dengan sebutan "Soeharto" tanpa embel-embel "Presiden" atau
"Bapak Presiden". lni juga berlaku
bagi para pejabat tinggi lainnya di masa itu. Embel-embel ini memang disadari
betul oleh kebanyakan kalangan di masa itu bukan untuk menunjukkan rasa hormat,
tetapi lebih pada permasalahan untuk menghormati dan menunjukkan betapa kuatnya
kekuasaan pada waktu itu. Pasca Orde Baru atau sering disebut dengan era Reformasi,
menjadi era yang begitu bebas dan secara tidak sadar tidak terkendali. Banyak
(tidak semua) para pengamat politik dan pra pakar yang sudah melupakan kesantunan
dalam berbahasa hingga kini.
Di media televisi
mereka berbicara dengan rnudah dan ringannya ketika menyebut nama sesorang entah
yang memiliki kedudukan atau tidak semisal Presiden Jokowi hanya disebut Jokowi.
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Poernama alias Ahok hanya disebut Ahok. Komjen Pol
Budi Gunawan hanya disebut Budi Gunawan. Jika dilihat dari sejarahnya bangsa ini
terkenal dengan kepribadiannya yang penuh dengan sopan santun. Dalam perkara
ini sebenarnya kita telah turut melupakan dan membenamkan kepribadian bangsa
kita dalam menghargai dan menghormati sesorang.
Kebiasaan untuk
memanggil seseorang di khalayak ramai hanya dengan menyebutkan namanya saja bukanlah
merupakan kepribadian bangsa ini, ltu adalah budaya barat yang terbawa secara tidak
sadar dan perlu untuk dikritisi. Bangsa ini perlu berdiri dengan kepribadiannya
sendiri bukan dengan mengkopi begitu saja kepribadian bangsa lain. Hal ini sungguh
memprihatinkan karena seakan-akan kita tidak percaya diri dengan kepribadian dan
budaya bangsa kita. Apa yang telah diucapkan dan diungkapkan oleh para pengamat
politik dan para pakar tentunya didengar generasi muda kita dan dijadikan
sebagai tolok ukur kebenaran. Dengan demikian ketika kaum intelektual ini memberikan
sebuah contoh yang tidak benar maka contoh yang tidak benar tersebut yang akan
dianggap benar. Dengan bahasa yang lebih simpel kaum intelektual telah
mengajarkan hal yang tidak santun. Jika permasalahan ini tidak disadari dan disikapi
sama halnya kita telah menciptakan generasi muda yang berpotensi untuk tidak mudah
menghargai dan menghormati orang lain. Penyebutan nama tanpa embel-embel
(Presiden/Bpk/lbu/Sdr) ini sebenarnya adalah hal yang sangat sederhana. Meski demikian
dari hal yang sederhana ini justru karakter generasi muda dan bangsa ini dibangun
dan dibentuk dengan kuat.
Alangkah baiknya jika
kita jauh lebih kritis sebagai bagian dari warga negara lndonesia untuk secara bersama
melakukan kontrol dan perbaikan dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sehingga pendidikan karekter yang diagung-agungkan dalam pendidikan di lndonesia
tidak hanya menjadi sebuah idealisme tanpa contoh. Kaum intelektual juga manusia
yang tidak luput dari kelemahan. Semoga hal ini dapat menjadi penggelitik hati yang
dapat mengubah Indonesia menjadi lebih baik sebagai bangsa yang dikenal dengan budaya
sopan santun dan ramah tamahnya.
Oleh : Yulius Dwi Cahyono, M.Pd.
Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Tulisan ini dimuat di Opini Tribun Jogja, 20 Januari
2015, Halaman 1-11.
26/02/2015